Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustaz, apakah hukumnya shalat Id itu? Bagaimana seandainya kalau kita terlambat datang ke tempat shalat Id, dimana shalatnya sudah selesai dan khatib sudah mulai berkhotbah, apa yang sebaiknya harus kita lakukan? Apakah ikut mendengar khotbah atau bagaimana, Ustaz?
Hamba Allah.
Jawab:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Id bagi kaum muslimin. Mazhab Hambali berpendapat bahwa shalat Id hukumnya fardhu kifayah. Mereka berlandaskan kepada amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah meninggalkan shalat Id ini. Karena shalat Id ini adalah salah satu syiar Islam yang harus diperlihatkan dan karenanya dilakukan secara berjamah. Maka jika telah ada jamaah yang melakukannya maka jatuh kewajibannya bagi yang lain.
Mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat Id hukumnya fardhu ain (wajib bagi setiap muslim). Ini juga yang dipegang oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dan al-Syaukani. Mereka berlandaskan kepada beberapa dalil, yaitu:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” {Surat Al-Kautsar [108]: 2).
Ibnu Qidamah dalam al-Mughni menjelaskan bahwa maksud shalat dalam ayat ini adalah shalat Id. Tapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah sholat pada umumnya, bukan khusus untuk shalat Id. Maka ayat ini tidak kuat untuk dijadikan dalil pendapat yang mengatakan bahwa shalat Id itu fardhu ‘ain.
Mereka juga berlandaskan kepada hadits Nabi Muhammad yang memerintahkan semua orang untuk keluar melaksanakan shalat Id itu, bahkan wanita pun diperintahkan Nabi SAW untuk keluar.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ ، قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى : الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ” ، قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ ، قَالَ : ” لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari Ummu ‘Athiyah ra., ia berkata, “Rasulullah SAW. memerintahkan kami untuk keluar pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, baik ‘awatiq (wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta doa kaum muslimin. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab, “Hendaklah saudarinya (sesama muslimah) meminjamkan jilbab kepadanya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sedangkan Mazhab Maliki dan Syafii berpendapat bahwa hukum shalat Id adalah sunnah muakkadah, dan ini pendapat yang lebih kuat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa Allah hanya mewajibkan shalat lima waktu bagi seorang muslim. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits:
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ ؟ ، فَقَالَ : الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
Thalhah bin Ubaidillah meriwayatkan bahwasanya seorang A’rabi (Arab Badui) yang berambut kusut datang kepada Rasulullah SAW., dia berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang shalat yang diwajibkan Allah kepadaku.” Beliau bersabda: “Shalat yang lima waktu, kecuali jika ingin melakukan yang sunnah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun jika kita terlambat datang dan shalat Id sudah selesai dilaksanakan, maka adalah masalah meng-qadha shalat Id ini ada perbedaan pendapat juga di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila ia tidak sempat shalat Id bersama imam secara jamaah maka ia tidak perlu meng-qadhanya karena shalat Id ini disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah maka tidak perlu diganti jika ia terlambat melakukannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia disunnahkan menggantinya dengan 4 rakaat tidak memakai jumlah takbir sebagaimana dalam shalat Id. Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa disunnahkan menggantinya dengan tata cara yang sama dengan shalat Id berjamaah. Dan inilah pendapat yang lebih kuat berdasarkan keumuman perintah Nabi SAW untuk mengganti shalat yang terlewatkan. Dalam hadits Rasulullah dijelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ ، فَلَا يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ ، وَلَكِنْ ، لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ ، وَالْوَقَارُ ، صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila shalat telah dilaksanakan, janganlah seseorang berjalan dengan tergesa-gesa mendatangi shalat itu, tetapi hendaklah ia berjalan dengan tenang. sholatlah apa yang kamu dapati dan sempurnakanlah apa yang terlewat.” (Riwayat Muslim).
Imam Bukhari juga mengkhususkan bab untuk mengganti shalat Id ini dimana beliau membuat judulnya ‘bab jika seseorang ketinggalan shalat Id maka hendaklah ia shalat dua rakaat. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Anas bin Malik jika ia ketinggalan shalat Id maka ia mengumpulkan istri dan anak-anaknya lalu shalat bersama mereka sebagaimana shalat Id secara berjamaah.
Jika seseorang datang ke tempat shalat Id dan khatib sedang berkhotbah, maka hendaknya dia ikut dulu mendengarkan khotbah. Baru kemudian melaksanakan shalat Id sendiri agar ia bisa mendapatkan keutamaan mendengar khotbah dan keutamaan melakukan shalat Id.
Wallahu a’lam bish shawab.*
KH Bachtiar Nasir