Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustaz, menjadi kebiasaan jamaah haji kita pada waktu pelaksanaan thawaf untuk membaca doa dengan mengikuti seseorang di depan yang biasa disebut muthawwif. Di mana muthawwif ini membaca do’a-doa yang telah dituliskan dalam buku panduan, kemudian jamaah haji yang dibelakang mengikutinya secara bersamaan. Bagaimanakah hukumnya ini Ustaz?
Hamba Allah.
Jawab:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf [7]: 55).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu berdoa kepada-Nya dengan merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah sebagai hamba yang tidak mempunyai daya dan upaya kecuali atas izin dan pertolongan-Nya. Allah Juga memerintahkan untuk berdoa dengan suara lembut dan tidak dikeraskan secara berlebihan, dan melarang hamba-Nya untuk melampaui batas dalam berdoa dengan meminta yang seharusnya tidak ia minta kepada Allah. Atau mengeraskan suaranya secara berlebihan sehingga seperti orang yang berteriak-teriak padahal Allah adalah Zat yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk mengeluarkan suara terlalu keras karena yang kita mintai do’a dan permohonan adalah Allah yang Maha Mendengar dan Maha Dekat dengan hamba-Nya.
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ ، وَلَا غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari ra. ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi SAW lantas bersabda: “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari).
Para ulama menjelaskan bahwa waktu thawaf seharusnya setiap jamaah haji menggunakan dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk berzikir, berdoa dan membaca al-Qur`an dengan penuh kekhusyukkan dan kehadiran hati di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa adalah suatu kesalahan bagi jamaah haji untuk membaca doa dengan suara keras karena mengikuti muthawwif. Pertama, karena Nabi SAW tidak pernah menetapkan doa khusus untuk setiap putaran dalam thawaf, kecuali ketika kita berada di antara rukun Yamani dan Hajar Aswad, di mana Beliau mengajarkan kita agar membaca:
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
“Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat kelak, dan hindarkanlah kami dari adzab api neraka.” (HR. Abu Daud).
Dan untuk setiap putaran selanjutnya, seluruh jamaah haji dianjurkan untuk berdo’a dengan do’a apa saja yang mereka inginkan untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka. Atau berdzikir kepada Allah dengan bertasbih atau bertahlil, di mana setiap orang pasti mampu melakukannya, atau membaca ayat-ayat Al-Quran yang bisa ia baca, dan itu merupakan zikir yang paling utama.
Do’a dan zikir yang dilakukan sesuai dengan keinginan dan kemampuan setiap jamaah haji, tentu akan membuat mereka lebih khusyu’ dan tenggelam dalam do’a dan pengharapan kepada Allah SWT. Dibandingkan dengan do’a dengan mengikuti orang lain yang membaca dari buku yang terkadang tidak dipahami maknanya sehingga menjadikan doanya hampa tanpa makna karena tidak ada rasa takut dan pengharapan dalam do’a yang mereka lafalkan.
Kedua, dengan mengeraskan suara ketika berdoa tersebut maka ditakutkan itu termasuk kepada perkara melampaui batas dalam berdoa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat di atas.
Hal itu juga dapat menggangu jamaah haji lain yang juga sedang melaksanakan thawaf sehingga mereka tidak bisa khusyu’ dalam beribadah. Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : ” أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلَاةِ
Dari Abu Sa’id (al-Khudri) ra. ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW. sedang beri’tikaf di masjid beliau mendengar para sahabat mengeraskan suara mereka dalam membaca al-Qur`an, maka beliau membuka hijab (penutup tempat beliau i’tikaf) lalu bersabda: “Ketahuilah! Setiap kamu bermunajat kepada Tuhannya maka janganlah kalian saling menyakiti dan janganlah kalian saling mengeraskan bacaan satu sama lain ketika membaca Al Qur’an.” Ada yang mengatakan, “Dalam hal bacaan ketika shalat.” (HR. Abu Daud, al-Nasa`i dan Ahmad).
Semestinya para muthawwif itu hanya menjaga agar ibadah jamaah haji yang dibimbingnya itu tidak salah dalam tata cara pelaksanaan ibadah hajinya, dan menunjukkan kepada mereka apa yang seharusnya dilakukan ketika thawaf lalu membiarkan mereka berdoa, berzikir atau membaca al-Qur`an sesuai keinginan mereka agar mereka dapat khusyu’ dalam menjalankannya. Wallahu a’lam bish shawab.*
KH Bachtiar Nasir