Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
تُولِجُ ٱلَّيْلَ فِى ٱلنَّهَارِ وَتُولِجُ ٱلنَّهَارَ فِى ٱلَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (QS. Al Imran ayat 26-27).
Eksistensi sebuah bangsa diukur dari moralnya. Akar dari segala sumber moral adalah takwa dan puncak moral dari berbangsa adalah keadilan. Sebagaimana puncak ilmu adalah keyakinan dan buah dari ilmu adalah hikmah maka dasar dari semua itu adalah takwa yang sebenar-benarnya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Al-Imran ayat 102).
Dalam kehidupan nyata, Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam keadaan yang berbeda dan berbangsa-bangsa. Namun, sekali lagi Allah menegaskan bahwa yang paling mulia dari berbagai rupa dan bangsa hamba-hamba-Nya tetaplah yang paling bertakwa. Orang yang paling bertakwa di antara hamba-Nya lah yang paling dimuliakan dan dikenali Allah Ta’ala.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Bersatunya Indonesia dengan ke-Bhineka Tunggal Ika-an, berawal dari bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Allah Ta’ala yang menciptakan kita dengan perbedaan dan keunikan masing-masing. Beberapa suku kemudian bersatu menjadi bangsa dan bertebaran di atas muka bumi. Dengan menyadari perbedaan yang pastinya ada, bersyukurlah kita sudah memiliki satu kalimat pengikat yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Akan tetapi, ada kaidah yang sangat menarik yang menegaskan bahwa innamal umamul akhlaqu ma baqiyat wa inhumu dzahabat akhlaquhum dzahabu (Hidup dan bangunnya suatu bangsa tergantung pada akhlaknya, jika mereka tidak lagi menjunjung tingi norma-norma akhlaqul-karimah, maka bangsa itu akan musnah bersamaan dengan keruntuhan akhlaknya). Bahwa eksistensi adanya suatu bangsa adalah akhlaq yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Bila di suatu bangsa tidak ada lagi moral, etik, dan akhlak maka bangsa itu tidak lagi dianggap ada.
Selaras dengan Takwa
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183).
Sebentar lagi bulan Ramadhan. Sesungguhnya para ulama berkata bahwa Rajab adalah bulan menanam, Syaban adalah bulan menyiram, dan Ramadhan adalah bulan memanen. Apa yang dipanen di bulan Ramadhan? Tak lain adalah tujuan dari Ramadhan itu sendiri, yaitu takwa. Tujuan ini tidak akan sampai kecuali kita telah mempersiapkannya semenjak sekarang. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menginternalisasikan diri dengan Alquran.
Seorang pemimpin, harus memahami ini. Karena setiap manusia sejatinya adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Bahwa ia harus selaras dengan kehendak Penciptanya, kehendak Allah Azza wa Jalla. Walau ia mempelajari sejumlah nilai budi pekerti, tidak mungkin ia dapat menjadi pemimpin yang baik, bila ia tetap mengabaikan kehendak Tuhannya. Terutama dalam berlaku adil.
Seorang pemimpin bangsa terlahir dari satuan terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Seorang ayah yang menjadi pemimpin keluarga, tetapi tidak mampu berlaku adil kepada keluarganya, maka ia sama saja menanamkan nilai negatif. Nilai negatif yang dianut dalam hati anak-anaknya yang kelak melanjutkan kepemimpinan dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Tirani seorang ayah muncul manakala dia tidak lagi menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang dilaksanakan secara mutlak di dalam keluarga.
Ketiadaan hukum di dalam suatu negara akan melahirkan tirani. Begitu juga dalam keluarga. Jika seorang suami tidak memandang istrinya sebagaimana hukum Islam; yaitu sebagai mitra, maka ia akan memperlakukan istrinya layaknya budak. Budak yang dimiliki dan harus melakukan segala kehendaknya hanya karena ia merasa telah membayar istrinya dengan gaji atau penghasilan yang diperolehnya dari bekerja. Sungguh ini bertentangan dengan hukum Islam.
Begitu pula dengan anak. Seorang ayah tidak boleh memperlakukan anakknya sekadar anak biologis. Namun, ia harus menjadi ayah ideologis yang menjadikan anak-anaknya menjadi pewaris dan pelaksana nilai-nilai yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana anak-anak Ya’qub manakala ditanya ayahnya siapa kelak Tuhan yang akan mereka sembah.
Seorang ayah wajib menetapkan tiga hal atas anak-anaknya :
Pertama, menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dalam diri anak. Sehingga ia senantiasa beribadah dengan ikhlas kepada Tuhannya.
Kedua, mencegah anaknya terjerumus dalam kemusyrikan dan menyembah kepada selain Allah Azza Wajalla.
Ketiga, mendisiplinkan anaknya akan hukum-hukum Allah dan syariat aturan agama.
Kalau ayah tidak memimpin keluarga dengan tiga hal ini maka ia memimpin keluarganya dengan hawa nafsu dan sangat besar kemungkinan, ia menjadi tiran.
Sungguh Allah Ta’ala mengangkat pemimpin-pemimpin di atas muka bumi ini, sebagian untuk dimuliakan dan sebagaian untuk dihinakan. Bila seorang pemimpin tidak memimpin dengan takwa maka otomatis tidak ada keadilan dan kemuliaan yang diberikan Allah Ta’ala. Setiap orang bisa saja memaksakan dirinya untuk menjadi pemimpin, tetapi tidak untuk dikaruniai kemulian oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Ali Imran ayat 26-27 di atas.
Oleh karena itu, bekalilah diri kita dengan sebenar-benarnya takwa. Agar Allah berkenan mengaruniakan kita kemuliaan sebagai pemimpin. Baik sebagai pemimpin keluarga, pemimpin atas rumah tangga, pemimpin masyarakat, apalagi seorang pemimpin bangsa. Karena, kemuliaan itu hanyalah datang dari Allah Ta’ala yang bersumber dari takwa yang sebenar-benarnya. Wallahu ‘alam bish shawab.*