Oleh:
KH Bachtiar Nasir
KASUS korupsi di Tanah Air silih berganti terungkap. Kasus korupsi seakan tidak pernah berhenti menghiasi pemberitaan di media massa. Pelakunya banyak berstatus muslim dan telah berulang-ulang melaksanakan ibadah puasa Ramadan, seperti saat ini.
Padahal tujuan penting dan dampak positif dari ibadah puasa Ramadan adalah terealisasikannya ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Alquran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Berbagai macam definisi takwa telah dijelaskan oleh para ulama. Pada intinya takwa adalah seorang hamba membuat dinding pembatas (pelindung) antara dirinya dengan kemurkaan Allah Ta’ala dan siksaan neraka. Konsekuensi dari takwa itu tentunya menjalankan semua yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan segala larangannya dengan penuh keikhlasan.
Memang sungguh sangat ironis sekali karena Ramadan yang datang berkali-kali kepada kita, bangsa Indonesia ini dengan misinya yang sangat agung tidak berbanding lurus dengan realita yang kita temui dalam kehidupan umat saat ini. Lihatlah sebagian besar dari umat Islam yang menganggap dirinya telah sukses menahan haus dan lapar pada bulan suci Ramadan, tetapi ternyata mereka sukses juga dalam penyalahgunaan amanah yang dibebankan Allah Ta’ala kepadanya dalam bentuk praktik korupsi, manipulasi, mafia hukum, mafia pajak, memeras rakyat dan bentuk-bentuk pengkhianatan lain terhadap rakyat dan bangsa ini.
Maka benarlah apa yang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa bagian yang ia dapatkan (hanyalah) lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang melakukan qiyamullail, namun bagian yang ia dapat hanyalah bergadang malam.” (HR. Ahmad, al-Nasa`i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan itu, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari).
Sekadar Kewajiban
Di sini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kebanyakan dari umat ini masih melakukan puasa sekadar lepas dari kewajiban. Sekadar bisa dianggap sebagai muslim di tengah masyarakatnya. Berpuasa untuk pamer. Serta belum berpuasa dengan penuh keimanan dan pengharapan akan rahmat dan ampunan Allah Ta’ala.
Mereka berpuasa, tetapi masih syirik dalam beragama dengan menjadi penyembah materi, penyembah dunia. Mereka berpuasa dan beribadah, tetapi tidak memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah Ta’ala. Serta tidak mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan ibadahnya sehingga tidak ada pengaruh dan efek positif dari ibadah yang dilakukannya.
Malah sebaliknya, meskipun mereka salat, berpuasa, berhaji dan umrah berkali-kali, tetapi gaya hidup mereka sangat hedonis, menghalalkan segala hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Perilaku mereka sama sekali tidak menunjukkan dia sebagai ahli ibadah. Mereka hanya menjadikan ibadah dan kedermawanan yang ditunjukkan untuk menutupi kajahatan dan pengkhianatan mereka terhadap rakyat dan amanah yang dibebankan kepada mereka.
Oleh karena itu, kita harus menjadikan Ramadan tahun ini sebagai momentum untuk melakukan perubahan dalam ritual ibadah kita. Kita harus berusaha melaksanakan puasa dan ibadah-ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan karena Allah semata dan penuh pengharapan akan rahmat dan ampunan Allah. Agar segala amal ibadah yang kita lakukan dapat memberi pengaruh positif kepada jiwa dan perilaku kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).*