Oleh:
KH Bachtiar Nasir
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah ayat 108).
Jantung Kehidupan
Banyak orang yang memilih untuk punya rumah yang dekat dengan masjid. Alasannya untuk mendekatkan keluarga pada masjid karena masjid adalah pintu surga dan tiap keluarga ingin masuk surga sama-sama. Tak hanya untuk keluarga, tetapi juga berkait pasti dengan fungsi sosial – yang tidak bisa lepas dari pribadi dan keluarga. Inilah yang alasan yang mendasari mengapa masjid tak ubahnya seperti “jantung” kehidupan kita.
Namun demikian, di dalam surat At-Taubah ayat 108 di atas, Allah berfirman bahwa masjid yang dapat digunakan untuk beribadah hanyalah yang dibangun di atas pondasi takwa.
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah saw, ada masjid yang berdiri bukan di atas dasar takwa. Masjid inilah yang kemudian dikenal sebagai masjid dhiror. Masjid yang didirikan atas kepentingan-kepentingan orang-orang yang sebenarnya menginginkan kehancuran Islam. Karena itu, hanya masjid Quba-lah yang saat itu berkualifikasi sebagai masjid takwa. Meski masjid ini didirikan dalam keadaan yang sangat sederhana.
Laboratorium Peradaban
Belajar dari hal ini, marilah kita sadari bahwa ukuran masjid yang dapat menjadi mesin penggerak kemajuan peradaban Islam; tidak terletak pada megah dan canggihnya sebuah masjid. Namun, pada apa dasar pembangunan masjid itu dan tujuan dipergunakannya masjid tersebut.
Karena pada masa itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam membangun peradaban umat ini di dalam laboratorium yang bernama masjid. Dari masjidlah, lahirnya bibit generasi umat kualitas unggul. Dari masjidlah lahir Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Abdullah bin Abbas, dan sahabat-sahabat mulia lainnya; hingga Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel.
Sayangnya, generasi umat saat ini, tidaklah demikian. Generasi saat ini adalah generasi classroom yang dibesarkan di dalam ruang kelas sekularisme. Di dalam kurikulum pendidikan yang jauh dari masjid. Jauh dari perintah Allah Ta’ala dan teladan Rasul-Nya. Padahal kemerdekaan bangsa ini adalah jerih payah dan darah para pejuang yang dekat dengan ulama, besar di masjid, dan jiwanya terisi semangat gagah berani seorang syuhada.
Benarlah hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tempat yang paling Allah cintai adalah masjid, dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar.” (Hadits Riwayat Muslim no.1076).
Dari masjidlah akan lahir generasi yang lekat pada tauhid, ingat mati, bersegera menyambut perintah Allah dan mengikuti teladan Rasulullah saw. Sementara anak-anak kita yang disuapi pelajaran-pelajaran materialistik di ruang kelasnya, bermuara “di pasar”. Tempat dimana cinta dunia menyala, serta materialistime dan hedonisme menjadi asas yang dipuja. Tidak pernah mengenal keikhlasan, apalagi orientasi akhirat di dalamnya.
Melangkah Nyata
Sekarang yang menjadi pe-er besar bagi kita semua adalah mengembalikan fungsi sentral masjid bagi kehidupan umat ini. Agar tidak hanya sekadar menjadi tempat kegiatan ritual semata karena sesungguhnya hanya dari masjidlah kejayaan umat akan menjadi nyata dan Baitul Maqdis akan menjemput kebebasannya.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kecintaan kepada masjid. Satu kisah yang paling nyata adalah kisah Imam Ahmad. Beliau menjadi ulama besar umat ini, tak lepas dari kesabaran dan kegigihan ibundanya mengantarkan beliau ke masjid setiap shalat lima waktu semasa kecil. Sehingga beliau tidak pernah melewatkan waktu shalatnya kecuali di masjid. Di masjidlah, kecintaannya terhadap ilmu dan ibadah tumbuh dan terpelihara.
Di sinilah pentingnya keshalehan orangtua untuk bisa melahirkan generasi yang shaleh dan shalehah.
Anak yang shaleh seperti Nabi Ismail berasal dari orangtua seperti Nabi Ibrahim as dan Hajar. Anak yang menjadi ulama besar pun berasal dari ibu yang shaleh seperti ibunda Imam Ahmad, meski ia terpisah dari ayahnya. Belajar dari kisah nabi dan orang-orang shaleh inilah, mari memantaskan diri menjadi pribadi-pribadi yang shaleh dan shalehah, juga mencintai masjid agar kita mampu menjadi orangtua yang shaleh untuk anak-anak kita.
Yang kedua, menjadikan masjid sebagai basis pembinaan keluarga dan sosial. Untuk mewujudkan tugas kedua ini, alangkah baiknya jika masjid tidak segera dikunci setelah shalat wajib dilaksnakan. Sehingga, bila ada masalah yang terjadi di rumah-rumah kita, setiap orang bisa meminta nasihat ulama atau imam masjid. Sehingga setiap orang yang memiliki masalah di antara kita, bisa mendapatkan solusi atau minimal ketenangan di masjid; bukan malah pergi ke diskotik, menkonsumsi narkoba, atau mencari jalan keluar dengan mendatangi dukun atau orang pintar. Fungsi konseling ini juga akan berjalan lebih baik jika disokong oleh kas dan donator masjid untuk para imam dan ulama.
Selanjutnya, masid juga dapat menjadi solusi untuk berbagai masalah sosial yang muncul di masyarakat dengan mengaktifkan baitul mal. Hari ini, banyak masjid yang menyediakan dispenser beras gratis, makan gratis, hingga tempat beristirahat untuk musafir. Hal ini pastilah berdampak positif pada kesejahteraan umat. Masjid menjadi garda terdepan penanggulan darurat pangan bagi kaum dhuafa; kelak juga sangat berarti, jika masjid juga menjadi tempat sharing-nya para investor dan praktisi sehingga dapat tercipta sinergi yang memberdayakan potensi umat demi mendorong kemajuan dan kesejahteraan.
Sekali lagi, kemajuan, kesejahteraan, persatuan, bahkan pembebasan umat sejatinya berawal dari masjid. Ingatlah bahwa spirit kemerdekaan bangsa ini berasal dari para ulama dan mereka yang pergi berhaji ke Masjidil Haram; berkumpul, berdiskusi, dan bersinergi hingga akhirnya menyalakan semangat juang pada segenap lapisan rakyat negeri ini. Hingga bisa meraih kebebasan dan kemerdekaan yang kita syukuri hari ini.*