Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Khotbah Pertama
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلْمُتَفَضِّلِ ٱلْمَحْمُودِ، ٱلرَّحِيمِ ٱلْوَدُودِ، وَٱلْمَلِكِ ٱلْمَعْبُودِ، ٱلْمَعْرُوفِ بِكَمَالِ ٱلْكَرَمِ وَٱلْجُودِ، يَرَىٰ جَرَيَانَ ٱلْمَاءِ فِي خِلَالِ ٱلْعُودِ، وَيَسْمَعُ دَبِيبَ ٱلنَّمْلِ فِي ظُلَمِ ٱللَّيَالِي ٱلسُّودِ، تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَاتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَهُنَّ عَلَىٰ رُبُوبِيَّتِهِ وَإِلَٰهِـيَّتِهِ شُهُودٌ.
أَحْمَدُهُ سُبْحَٰنَهُ عَلَىٰ فَضْلِهِ ٱلْمَمْدُودِ، وَأَشْكُرُهُ، وَشَاكِرُهُ بِٱلْمَزِيدِ مَوْعُودٌ، وَأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَكْرَمُ مَوْلُودٍ، صَاحِبُ ٱللِّوَاءِ ٱلْمَعْقُودِ، وَٱلشَّفَاعَةِ ٱلْعُظْمَىٰ فِي ٱلْيَوْمِ ٱلْعَظِيمِ ٱلْمَوْعُودِ.
ٱللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَىٰ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾
Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Marilah kita memuji Allah Yang Maha Bijaksana, yang telah menciptakan kita dengan segala kesempurnaan dan kasih sayang-Nya. Dialah yang menurunkan petunjuk agar kita tidak tersesat di kegelapan dunia. Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah, menjaga hati kita dari dosa, dan mengisi setiap langkah dengan amal kebaikan. Takwa adalah cahaya penerang bagi hidup yang penuh cobaan, dan ia menjadi bekal terbaik di dunia menuju kehidupan yang kekal di akhirat.
Takwa bukan hanya perisai dari maksiat, melainkan juga komitmen mendalam untuk mengutamakan ridha Allah di atas segala-galanya. Dengan takwa, kita tunduk kepada perintah-Nya dengan penuh cinta, meninggalkan larangan-Nya dengan ketulusan, dan menggantungkan harapan hanya kepada rahmat-Nya. Barang siapa yang bertakwa, Allah berjanji akan memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan, serta rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
Maka, mari kita teguhkan hati dalam takwa, yang menjadi bukti cinta kita kepada Sang Pencipta. Semoga kita termasuk dalam golongan yang dicintai Allah, yang diselamatkan di dunia dan akhirat, dan dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Aamiin, ya Rabbal ‘Alamin.
Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah!
Dalam surah Hud ayat 25-49 terdapat kisah sangat agung yang menggambarkan betapa pentingnya ketaatan kepada Allah dalam menggapai keselamatan. Melalui ayat-ayat ini Allah membuka hati umat Islam agar berfokus pada ketundukan dan kepatuhan agar bisa menggapai kesuksesan dunia-akhirat.
Di tengah kaum yang tenggelam dalam kesesatan, Allah mengutus Nuh sebagai pembawa peringatan. Dengan penuh kesabaran, ia menyeru mereka kepada tauhid, mengajak untuk menjauhi penyembahan berhala yang tak memberi manfaat sedikit pun. Namun, kaum itu menutup hati mereka, berpaling dengan kesombongan, berkata bahwa mereka hanya melihat Nuh sebagai manusia biasa, bukan utusan Tuhan.
Tahun-tahun berlalu, seruan Nuh semakin kuat, tetapi penolakan kaumnya semakin keras. Mereka menantangnya, meminta agar azab yang ia peringatkan segera datang jika memang ia berkata benar. Maka, Allah mewahyukan kepada Nuh bahwa kehancuran bagi orang-orang yang zalim telah dekat, dan ia diperintahkan membangun bahtera sebagai penyelamat bagi orang-orang yang beriman.
Saat kapal itu dibuat, kaum yang kufur hanya menertawakannya—bagaimana mungkin kapal dapat berguna di tengah daratan? Namun, ketetapan Allah pun tiba. Langit mencurahkan hujan tanpa henti, bumi memuntahkan airnya, dan banjir besar meliputi segala penjuru. Gelombang besar mengangkat kapal Nuh dan orang-orang beriman, sementara yang mendustakan tenggelam dalam kehancuran.
Di antara ombak yang bergulung, Nuh melihat anaknya, yang memilih berpisah dari iman. Dengan penuh kepedihan, ia berseru,
يَٰبُنَىَّ ٱرْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Wahai anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang yang kafir!”
Namun, anaknya mengandalkan akalnya yang terbatas, menolak seruan ayahnya dan berkata,
سَـَٔاوِىٓ إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِى مِنَ ٱلْمَآءِ
“Aku akan berlindung ke gunung yang dapat menjagaku dari air ini!”
Dengan hati yang pilu, Nuh memperingatkan,
لَا عَاصِمَ ٱلْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ
“Tidak ada yang dapat melindungi dari ketetapan Allah pada hari ini, kecuali bagi yang dirahmati-Nya!”
Namun sebelum anaknya dapat mencapai perlindungannya, ombak besar pun menelannya—menghapus segala kesombongan dalam hitungan detik.
Ketika bumi mulai menelan airnya dan langit menahan hujannya, kehancuran itu pun mencapai akhirnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
﴿وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ﴾
“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim”.” (QS. Hud [11]: 44)
Dengan ketetapan yang menggentarkan, air pun surut, dan kapal Nuh berlabuh dengan selamat di atas gunung Judi. Azab itu telah berlalu, dan bagi mereka yang beriman, kehidupan baru telah dimulai.
Namun, meski kemenangan telah tiba, hati seorang ayah masih merasakan luka. Dengan penuh harap, Nuh memohon kepada Allah agar anaknya diselamatkan, tetapi jawaban Ilahi mengajarkan bahwa hubungan sejati bukanlah darah dan keturunan, melainkan iman yang menautkan hati dengan ketundukan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
﴿يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ﴾
“Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu! Sesungguhnya dia adalah perbuatan yang tidak baik! Maka janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak kamu ketahui hakikatnya. Sesungguhnya Aku menasihatimu agar kamu termasuk orang-orang yang berakal.” (QS. Hud [11]: 46).
Dalam ketetapan ini, Nuh mengerti—bahwa keselamatan bukanlah milik siapa pun kecuali mereka yang tunduk kepada Allah. Ia pun bertaubat, menyerahkan segalanya kepada kehendak Tuhan yang Maha Mengetahui.
Kisah ini terukir dalam ayat-ayat penuh hikmah, sebagai pelajaran bagi umat manusia—bahwa keselamatan hanya bagi mereka yang taat dan menerima kebenaran. Di samping itu, tiada tempat berlindung dari ketetapan Allah, kecuali bagi yang dirahmati-Nya.
Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Dalam kitab “Rasaa’il min al-Qur’an” digambarkan dengan sangat indah suasana yang digambarkan dalam ayat 44 dari surah Hud tadi,
وَقِيلَ يَٰٓأَرْضُ ٱبْلَعِى مَآءَكِ وَيَٰسَمَآءُ أَقْلِعِى وَغِيضَ ٱلْمَآءُ وَقُضِىَ ٱلْأَمْرُ وَٱسْتَوَتْ عَلَى ٱلْجُودِىِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan dikatakan, “Hai bumi, telanlah airmu,” dan “Hai langit, berhentilah dari mencurahkan hujan.” Maka surutlah air itu, perintah pun ditetapkan, dan bahtera itu berlabuh di atas Gunung Judi. Dan dikatakan, “Binasa dan jauhlah kaum yang zalim itu.”
Inilah salah satu kisah terpendek dan paling menggugah dalam sejarah. Sebuah mahakarya kisah yang dirangkai dengan keindahan bahasa yang luar biasa. Langit, tanpa henti mencurahkan hujan. Bumi, dengan gigih memuntahkan airnya. Sebuah kapal besar, dibangun di tengah gurun yang tandus, lalu terapung di atas gelombang sebesar gunung. Di dalamnya, tersembunyi masa depan dunia, dengan keimanan sekelompok kecil manusia dan sepasang dari setiap makhluk.
Manusia tenggelam, hanya mereka yang beriman yang diselamatkan. Bumi, bagaikan sedang dimurnikan dari dosa-dosa penduduknya. Semua ini adalah peristiwa agung, layak untuk diceritakan panjang lebar. Namun Al-Qur’an, dengan keajaiban bahasa dan ringkasnya, mampu merangkum kisah hebat ini hanya dengan beberapa kalimat.
Kata “وَقِيْلَ” (dan dikatakan) di sini digunakan dalam bentuk lampau, meskipun peristiwa itu penuh dengan kemenangan dan keagungan! Allah, dengan kekuatan dan kebesaran-Nya, memilih untuk tidak menyebutkan Diri-Nya secara langsung dalam ayat ini. Sebab, hanya dengan firman “Kun” (Jadilah), bumi ditelan airnya dan langit berhenti mengucurkan hujan. Segala sesuatu terjadi dengan sempurna sesuai perintah-Nya.
Ketika Al-Qur’an menyatakan, “وَقُضِيَ الْأَمْرُ”(Dan telah selesai perkara itu) —sekali lagi, ini adalah keindahan ringkasan bahasa yang tiada banding. Allah tidak memerlukan narasi panjang untuk menunjukkan kekuatan-Nya. Tidak ada detail yang berlebihan tentang kehancuran kaum zalim, karena inti dari kisah ini bukanlah tentang balas dendam, tetapi pelajaran yang hendak diberikan,
أَنْ نَسِيرَ نَحْوَ ٱلْهَدَفِ، أَمَّا أُو۟لَٰئِكَ ٱلَّذِينَ يَعْتَرِضُونَ ٱلطَّرِيقَ، فَمُجَرَّدُ عَوَائِقَ عَلَيْنَا أَنْ نُنَحِّيَهُمْ وَنُكْمِلَ ٱلْمَسِيرَ!
“Bahwa yang terpenting adalah bergerak menuju tujuan hidup, yakni menggapai ridha-Nya. Mereka yang menghalangi jalan kita hanyalah rintangan kecil yang perlu disingkirkan tanpa kita terhenti melangkah maju.”
Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Di sisi lain, surah Hud ayat 44 adalah gambaran yang sangat kuat tentang ketaatan makhluk Allah terhadap perintah-Nya. Dalam ayat tersebut, langit diperintahkan untuk berhenti mencurahkan hujan, dan bumi diminta menelan airnya. Tidak ada keraguan, tidak ada penundaan—keduanya segera memenuhi perintah Allah dengan tunduk sempurna. Hujan berhenti, air surut, dan bahtera Nabi Nuh berlabuh dengan selamat di atas Gunung Judi. Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa alam semesta sepenuhnya berada dalam kendali dan kehendak Allah.
Betapa luar biasa, bumi dan langit yang tidak memiliki akal pun tunduk tanpa ragu kepada perintah Allah. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan tanpa sedikit pun pembangkangan. Sedangkan kita, manusia—makhluk yang diberi akal, hati, dan kemampuan berpikir—sering kali justru memilih jalan yang berbeda. Padahal, nikmat akal diberikan agar kita dapat merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, memahami kebesaran-Nya, dan memilih jalan ketaatan.
Maka, mari kita renungkan: jika bumi dan langit yang begitu besar dan kompleks dapat tunduk kepada Allah, mengapa kita yang diberi akal seringkali lalai? Allah menciptakan kita dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya dan hidup dalam ketaatan. Saat kita menjauh dari perintah-Nya, kita bukan hanya kehilangan jalan keselamatan, tetapi juga mengingkari tujuan utama penciptaan kita.
Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Betapa banyak nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kita. Termasuk badan kita yang sehat ini. Maka sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya, kita gunakan untuk ketaatan. Seorang salaf saleh, Syumaith bin ‘Ajlan Rahimahullah pernah menandaskan,
وَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ أَبْدَانَكُمْ إِلَّا مَطَايَاكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: فَانْضُوهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.
“Demi Allah, aku tidak melihat jasad-jasad (badan-badan) kalian melainkan sebagai tunggangan yang mengantarkan kalian kepada Tuhan kalian, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Maka gunakanlah jasad-jasad itu dalam ketaatan kepada Allah, semoga Allah memberkahi kalian.” (Imam Ahmad, al-Zuhd, 434).
Dalam ungkapan ini, Syumaith bin ‘Ajlan mengingatkan manusia bahwa tubuh mereka hanyalah kendaraan menuju perjumpaan dengan Allah. Seperti seorang musafir yang menggunakan kendaraannya untuk mencapai tujuan akhir, manusia pun harus sadar bahwa tubuh mereka adalah alat yang diberikan oleh Allah untuk beribadah dan berbuat kebajikan.
Tidak ada perjalanan yang lebih mulia daripada perjalanan menuju ridha-Nya, dan tubuh yang diberikan bukan untuk ditelantarkan atau digunakan dalam kemaksiatan, melainkan untuk dituntun dalam ketaatan.
Selanjutnya, ungkapan “فَانْضُوهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ” (Maka gunakanlah jasad-jasad itu dalam ketaatan kepada Allah) memberikan pesan yang kuat: manfaatkan tubuh dalam ibadah dan kebaikan sebelum ia melemah dan usang oleh waktu. Seperti halnya seekor tunggangan yang harus digunakan dengan baik sebelum kehilangan daya, tubuh manusia harus diarahkan kepada amal shalih sebelum datang kelemahan dan ajal.
Ketaatan adalah jalan keselamatan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat, dan siapa yang menjaga tubuhnya dalam jalan Allah akan mendapati keberkahan dalam hidupnya. Keselamatan sejati bukanlah dalam kesehatan fisik semata, tetapi dalam bagaimana tubuh digunakan sebagai alat untuk menggapai ridha Ilahi. Demikianlah, manusia hendaknya selalu sadar bahwa tubuh bukan sekadar keberadaan fisik, melainkan amanah yang harus dijaga dalam ketaatan, agar kelak ia menjadi saksi atas amal baik di hadapan Allah.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيمِ. وَتَقَبَّلَ ٱللَّهُ مِنِّي وَمِنكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيمِ.
Khotbah Kedua:
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ، وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ.
أَحْمَدُهُ سُبْحَٰنَهُ وَأَشْكُرُهُ، وَأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، ٱلْإِلَٰهُ ٱلْحَقُّ ٱلْمُبِينُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ وَعَلَىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ ٱلسَّادَةِ ٱلْأَكْرَمِينَ، وَمَن سَارَ عَلَىٰ هَدْيِهِمْ وَسَلَكَ سَبِيلَهُمْ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلدِّينِ.
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، ﴿يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾
Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Ketaatan kepada Allah bukan sekadar jalan keselamatan, tetapi juga pintu menuju cinta-Nya. Sebagaimana yang disampaikan Abu Darda’—radhiyallahu ‘anhu—ketika seseorang istiqamah dalam ketaatan, Allah akan mencintainya:
فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا عَمِلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَإِذَا أَحَبَّهُ اللَّهُ حَبَّبَهُ إِلَى خَلْقِهِ
“Seorang hamba, jika ia beramal dengan ketaatan kepada Allah, maka Allah akan mencintainya. Jika Allah mencintainya, maka Dia akan menjadikan hamba itu dicintai oleh makhluk-Nya.” (Ibnu Jauzi, Shifatu ash-Shafwah, I/299).
Cinta Allah bukan hanya berupa rahmat dan ampunan-Nya, tetapi juga keberkahan dalam hidupnya, kemudahan dalam segala urusan, serta ketenangan di hati.
Lebih dari itu, cinta Allah kepada seorang hamba memancar ke seluruh ciptaan-Nya—ia menjadi sosok yang dicintai manusia, dihormati, dan diberikan kedudukan yang baik dalam kehidupan.
Sebaliknya, kemaksiatan bukan hanya membawa kesengsaraan, tetapi juga mendatangkan kebencian dari Allah. Lebih lanjut Abu Darda menandaskan,
وَإِذَا عَمِلَ بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ أَبْغَضَهُ اللَّهُ
“Sebaliknya, jika ia berbuat maksiat kepada Allah, maka Allah akan membencinya.”
Kebencian ini bukan hanya dalam bentuk jauh dari rahmat dan pertolongan Allah, tetapi juga menjadikan hati manusia berpaling darinya. Ia menjadi asing di tengah manusia, tidak ada keberkahan dalam hidupnya, dan kesulitan selalu menghadang jalannya. Bahkan apa yang tampak sebagai keberhasilan di dunia hanyalah fatamorgana yang akhirnya berubah menjadi kesia-siaan.
Maka, seorang hamba yang berakal harus memilih jalannya dengan bijak,
فَإِذَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ بَغَّضَهُ إِلَى خَلْقِهِ
“Jika Allah membencinya, maka Dia akan menjadikannya dibenci oleh makhluk-Nya.”
Ketaatan bukan hanya jalan menuju keselamatan di akhirat, tetapi juga membentuk kehidupan dunia yang penuh ketenangan dan berkah. Ketika seorang hamba memohon cinta Allah dengan ketaatannya, ia akan mendapati hati manusia pun terbuka untuknya—dicintai, dihormati, dan dikenang kebaikannya.
Hidup bukan sekadar tentang keberhasilan materi, tetapi tentang bagaimana seorang hamba menjadi orang yang taat, meraih cinta dari Sang Pencipta, yang dengan cinta-Nya, dunia dan akhirat menjadi bercahaya.
Doa
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلأَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَعَن سَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ
اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ .
رَبَّنَا آتِناَ فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ