Oleh:
KH Bachtiar Nasir
MARI kita bersama-sama merawat takwa dalam setiap langkah kehidupan kita. Takwa adalah wujud cinta kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebuah kesadaran untuk senantiasa berada dalam jalan yang diridhai-Nya. Dengan memelihara takwa, kita tidak hanya menjaga hubungan dengan Sang Pencipta, tetapi juga menanamkan kebaikan di hati kita, sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna dan penuh berkah.
Selain itu, mari kita rawat tali silaturahim dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Silaturahim bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari ibadah yang membawa keberkahan dalam hidup kita. Mempererat hubungan dengan keluarga, sahabat, dan sesama adalah wujud nyata dari cinta dan kepedulian kita. Silaturahim adalah jembatan menuju ketenangan jiwa dan pintu rahmat Allah Ta’ala yang tidak terhingga.
Semangat Silturahim
Pada bulan Syawal lalu dan sepanjang bulan lainnya, semoga kita semua mampu menjalani hari-hari kita dengan semangat takwa dan silaturahim, hingga akhir hayat. Dengan saling mengingatkan, saling berbagi kebaikan, dan saling mendoakan, semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menjaga kedua hal ini. Jadilah pribadi yang rendah hati, penuh kasih, dan istiqamah dalam ibadah, agar hidup kita terus berbuah kebaikan yang kekal.
Silaturahim bukan sekadar ajang temu kangen keluarga saat hari raya atau momen kebersamaan di acara keluarga besar. Ia adalah bagian penting dari ajaran Islam yang harus dirawat sepanjang zaman, dalam segala kondisi dan usia. Silaturahim merupakan jembatan kasih sayang yang menghubungkan antarhati, menguatkan ikatan nasab, dan mendekatkan keberkahan dari langit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan silaturahim secara tegas dalam Al-Qur’an:
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS An-Nisa [4]: 1)
Ayat ini menunjukkan bahwa menjaga hubungan keluarga bukan sekadar perkara sosial, tapi bagian dari takwa kepada Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian, ia harus terus dirawat sepanjang hayat. Menjaganya bukan hanya pada bulan Syawal pada momen lebaran, tapi seterusnya hingga ajal tiba.
Banyak sekali keutamaan yang didapatkan bagi orang yang menjaga silaturahim. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
»مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ«
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (Muttafaqun `Alaih).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyambung tali silaturahim bukan hanya menjadi wujud kepedulian terhadap keluarga dan kerabat, tetapi juga memiliki dampak langsung pada kehidupan seseorang. Dalam Islam, hubungan baik dengan sesama, terutama keluarga, adalah bagian dari ibadah yang dapat mendatangkan keberkahan. Luasnya rezeki di sini tidak hanya bermakna materi, tetapi juga mencakup ketenangan hati, keberkahan waktu, dan kemudahan dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, hadits ini menegaskan bahwa mempererat silaturahim dapat menjadi salah satu cara untuk memperoleh umur yang diberkahi. “Dipanjangkan umur” bukan hanya berarti tambahan waktu hidup, tetapi juga kualitas hidup yang baik, penuh manfaat dan amalan kebaikan.
Pesan ini mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga hubungan baik, karena selain memberikan kebahagiaan, silaturahim adalah jalan untuk mendapatkan ridha Allah dan rahmat-Nya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hadits Qudsi, Allah juga berfirman,
»أَنَا الرَّحْمَنُ، وَهِيَ الرَّحِمُ، شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ«
“Aku adalah Ar-Rahman, dan dia (rahim) Aku ciptakan dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Aku akan memutusnya.” (HR Bukhari).
Hadits ini mengandung pesan pentingnya menyambung tali silaturahim, yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam.
Allah Azza wa Jalla menggunakan nama-Nya Ar-Rahman untuk menciptakan istilah “rahim,” menunjukkan hubungan erat antara sifat kasih sayang Allah Ta’ala dengan kewajiban manusia untuk menjaga hubungan keluarga dan kerabat. Menyambung silaturahim adalah bentuk nyata dari kasih sayang dan kepedulian yang mencerminkan sifat rahmat Allah.
Lebih jauh, hadis ini juga mengingatkan kita bahwa Allah Ta’ala akan memberikan balasan sesuai dengan tindakan kita terhadap silaturahim. Jika kita menyambungnya, Allah akan menyambung kita dengan rahmat-Nya, tetapi jika kita memutuskan hubungan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan kita dari rahmat-Nya. Pesan ini mengajarkan bahwa menjaga silaturahim bukan hanya berdampak pada hubungan antar manusia, tetapi juga pada hubungan kita dengan Allah sebagai bentuk ibadah yang utama.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia bahwa bulan Syawal, terutama hari raya Idulfitri, menjadi momen puncak silaturahim. Keluarga berkumpul, saling bermaaf-maafan, mengunjungi kerabat jauh, bahkan mudik besar-besaran dilakukan demi merawat hubungan darah. Tapi sayangnya, silaturahim kadang berhenti di situ saja.
Tak jarang, seseorang yang begitu hangat saat Syawal kembali dingin di bulan berikutnya. Grup keluarga kembali sepi, telepon dan pesan mulai jarang, bahkan sesekali undangan pernikahan atau kabar duka pun luput dari perhatian.
Padahal, menjaga silaturahim tidak harus dengan pertemuan besar atau acara khusus. Kadang cukup dengan satu pesan singkat, sapaan lewat telepon, atau komentar hangat di media sosial. Yang penting adalah konsistensi dan ketulusan.
Menjaga Silturahim
Dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan kisah Abu Bakar As-Shiddiq yang tetap menjaga silaturahim meskipun pernah disakiti oleh kerabatnya, yaitu Misthah bin Utsatsah. Misthah adalah salah satu sahabat miskin yang sering mendapatkan bantuan dari Abu Bakar, namun ia terlibat dalam penyebaran fitnah terkait insiden ifk yang menyangkut Aisyah, putri Abu Bakar.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala membenarkan Aisyah melalui wahyu yang turun, Abu Bakar bersumpah tidak akan lagi memberi nafkah kepada Misthah sebagai bentuk kekecewaan. Namun, ketika ayat Al-Qur’an turun yang memerintahkan untuk memaafkan dan tetap memberi kepada kerabat, Abu Bakar pun mengatakan,
وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِي
“Demi Allah! Aku ingin Allah mengampuniku.” (HR Ahmad) lalu beliau kembali memberikan nafkah kepada Misthah dan bersumpah tidak akan menghentikannya lagi.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ada seorang sahabat yang menceritakan kepada Rasulullah bahwa ia selalu menyambung silaturahim kepada kerabatnya, meskipun mereka sering membalasnya dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian Rasulullah berkomentar,
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ.
“Jika engkau benar-benar seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan bara panas di wajah mereka. Dan senantiasa kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala menyertaimu terhadap mereka, selama engkau tetap seperti itu.” (HR Muslim).
Rasulullah memberi kabar gembira bahwa tindakannya adalah hal yang utama dalam Islam dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi penolong baginya selama ia tetap merawat silaturahim. Rasulullah juga menjelaskan bahwa kezaliman kerabat yang memutuskan tali silaturahim itu kelak akan menjadi penyesalan bagi mereka sendiri. Kisah ini menjadi teladan bagi umat Muslim untuk tetap menjaga hubungan baik meskipun menghadapi ujian berat dari keluarga.
Dalam Islam, ada banyak cara untuk merawat silaturahim, seperti berkunjung ke rumah kerabat, mengirim pesan atau menelepon mereka untuk menanyakan kabar, dan membantu mereka memenuhi kebutuhan. Rasulullah sendiri memberikan teladan dengan sering mengunjungi kerabatnya, mendoakan mereka, serta membantu mereka baik saat hidup maupun setelah wafat. Selain itu, memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan, bersikap ramah, dan memaafkan kesalahan mereka menjadi bagian dari perawatan silaturahim yang dianjurkan. Kisah para sahabat menunjukkan pentingnya menjaga hubungan dengan keluarga sebagai bagian dari ibadah yang membawa keberkahan dalam hidup.
Keutamaan Silturahim
Para ulama salaf juga memberikan banyak contoh bagaimana mereka mengutamakan silaturahim dalam kehidupan mereka, baik melalui ketaatan, penghormatan, maupun pengorbanan yang tulus; utamanya dalam hal berbakti kepada orang tua.
Salah satu contoh adalah Uwais al-Qarni, yang lebih memilih untuk tetap bersama ibunya daripada berangkat menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dalam riwayat disebutkan bahwa alasan Uwais tidak sempat bertemu dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena kesungguhannya dalam berbakti kepada ibunya, sehingga ia terhalang untuk bepergian jauh (Abu Nu’aim, Hilyat al-Auliya’, 1/300).
Bentuk penghormatan kepada orang tua juga tampak dalam Ali bin Husain, yang tidak mau makan bersama ibunya karena khawatir tangannya akan mendahului makanan yang diinginkan ibunya, sehingga ia merasa telah berlaku durhaka (Ibnu Qutaibah, Uyūn al-Akhbār, 3/101). Selain itu, Umar bin Dzar menunjukkan betapa seorang anak harus menghormati ayahnya, dengan tidak berjalan di depannya saat siang dan tidak berjalan di belakangnya saat malam. Bahkan, ia tidak pernah naik ke atap rumah ketika ayahnya berada di bawahnya, sebagai tanda penghormatan (Ibnu Qutaibah, Uyūn al-Akhbār, 3/101).
Bentuk lain dari pengorbanan dalam menjaga silaturahim dapat dilihat dalam al-Fadhl bin Yahya. Ketika ayahnya berada di dalam penjara dan penjaga melarang mereka membawa kayu untuk menghangatkan air wudhunya, al-Fadhl berdiri sepanjang malam sambil memegang wadah air dekat api kecil, agar air tetap hangat dan ayahnya bisa berwudhu dengan nyaman.” (Uyūn al-Akhbār 3/102).
Kisah-kisah ini menunjukkan bagaimana para salafus shalih mengutamakan hubungan keluarga, berbakti kepada orang tua, dan menjaga silaturahim dengan cara yang luar biasa. Mereka memahami bahwa kebaikan kepada keluarga tidak hanya berbuah di dunia, tetapi juga menentukan nasib seseorang di akhirat. Sebagai refleksi, kita dapat mengambil pelajaran bahwa silaturahim bukan hanya sekadar bertemu dan berkomunikasi, tetapi juga mencakup penghormatan, pelayanan, dan pengorbanan demi ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagian orang enggan bersilaturahim dengan alasan, “Saya sudah capek duluan. Dia yang harus minta maaf dulu.” Padahal, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu yang sekadar membalas kunjungan, tetapi dialah yang tetap menyambung walaupun ia telah diputuskan.” (HR Bukhari)
Amru bin Ash juga pernah berkata,
لَيْسَ الْوَاصِلُ الَّذِي يَصِلُ مَنْ وَصَلَهُ وَيَقْطَعُ مَنْ قَطَعَهُ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ الْمُنْصِفُ، وَإِنَّمَا الْوَاصِلُ الَّذِي يَصِلُ مَنْ قَطَعَهُ وَيَعْطِفُ عَلَى مَنْ جَفَاهُ
“Bukanlah orang yang menjaga silaturahim itu orang yang hanya menyambung hubungan dengan mereka yang menyambungnya dan memutuskan hubungan dengan mereka yang memutusnya. Itu hanyalah orang yang berlaku adil. Sedangkan orang yang benar-benar menjaga silaturahim adalah yang menyambung hubungan dengan orang yang memutusnya dan berlemah lembut kepada orang yang bersikap kasar kepadanya.” (Abu al-Laits as-Samarqandi, Tanbīh al-Ghāfilīn bi-Aḥādīth Sayyid al-Anbiyā’ wa al-Mursalīn, 143)
Ungkapan ini mengajarkan bahwa hakikat silaturahim bukan sekadar membalas hubungan baik, tetapi juga menyambung kembali hubungan yang terputus. Orang yang benar-benar menjalin silaturahim adalah mereka yang tetap berbuat baik bahkan kepada orang yang tidak membalas kebaikan itu.*