Sebab Dicabutnya Kasih Sayang Allah

Jangan beri yang sisa untuk islam

Oleh:

KH. Bachtiar Nasir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allâh hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allâh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az-Zumar ayat 22).

Di dalam diri kita, terdapat potensi sifat kebinatangan yang tak jarang muncul ketika berbuat maksiat. Salah satunya adalah sifat kebinatangan yang dimiliki oleh babi. Babi dikenal sebagai hewan yang kotor, cenderung pada berbagai hal yang jorok, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (cenderung menyeruduk), dan senang berkumpul bersama kawanan babi untuk hal kotor yang ditemukan.

Meskipun ada makanan yang baik dan bersih, maka babi lebih suka mengabaikannya; demi makanan yang kotor dan tercampur-aduk. Begitu pula dalam berjalan, babi akan sangat sulit untuk berpindah jalan, meski tahu jalan lain itulah yang benar untuk sampai di tujuan. Meski sudah ada yang memberi tahu untuk berbelok atau pindah ruas jalan, ia tetap “menyeruduk” di jalan yang sudah dipijaknya. Sulit untuk diberi tahu dan dipandu, kemana jalan seharusnya.

Demikian pula dengan segala tindakan kita selama ini. Terkadang, tanpa kita sadari, sifat kebinatangan babi itu bersenyawa dengan ego dan nafsu. Hingga tanpa disadari begitu sulit bagi kita bisa mengubah arah kaki menjejak di dunia, meski kita tahu persis telah menempuh jalan yang salah. Begitu keras kepalanya dan keras hatinya kita untuk menerima kebenaran.

Kerasnya hati ini telah menutup mata hati dan mata kepala hingga bertambah-tambahlah perbuatan buruk yang dipandang baik oleh kita. Semakin menjauhkan dari kebenaran dan akhirnya menyebabkan tercabutnya kasih sayang Allah Ta’ala dari diri kita. Sebagaimana Malik bin Dinar berkata, “Seorang hamba tidaklah dihukum dengan suatu hukuman yang lebih besar, daripada hatinya yang dijadikan keras. Tidaklah Allâh Azza wa Jalla marah terhadap suatu kaum kecuali Dia akan mencabut rasa kasih sayang-Nya dari mereka.”

Tanpa kasih sayang Allah Azza wa Jalla apalah lagi arti hidup kita? Ke arah mana pun berjalan, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Kepada siapa pun meminta perlindungan, tidak akan pernah merasa aman dan tenang. Untuk alasan apa pun tindakan dan pekerjaan yang diupayakan, tidak akan pernah mencapai rasa tentram dan kepuasan. Semua akan terasa menyiksa dan hampa. Inilah hukuman terbesar dan terberat bagi seorang hamba. Manakala Allah Ta’ala telah mencabut kasih sayang-Nya dan meninggalkan hamba-Nya sendirian.

Buta dari Kebenaran
Dikala seorang hamba telah memasuki kegelapan dalam hidupnya inilah, ia akan kehilangan kehormatan dan kemuliaannya sebagai seorang manusia. Sudah tak nampak lagi baginya mana hal yang baik dan yang buruk. Mana konsumsi yang halal dan mana yang haram. Mana yang bersih dan mana yang kotor.

Manusia dalam keadaan ini, tidak akan bisa melihat yang baik dan bersih dari apa pun yang ada di dunia. Apa pun yang dikatakan oleh orang lain selalu dilihat dari sudut pandang yang buruk. Apa yang dilakukan oleh saudaranya sesama Muslim akan dilihatnya sebagai kesalahan. Diaduk-aduknya perkara yang ada di hadapannya, dicari dimana salah dan kurangnya; dan bila sudah ketemu, maka ia akan mengundang “sesama kawanannya untuk ‘menggoreng’” lalu menyebarluaskan segala hal yang salah dan kurang itu. Tidak tampak sama sekali kebaikan yang lebih besar di hadapannya. Buta mata dan tuli telinganya dari kebenaran yang disampaikan. Bahkan, bila peringatan berupa ujian Allah Ta’ala ditimpakan kepadanya.

Itulah perilaku orang-orang yang telah bersenyawa dengan sifat babi. Semua salah baginya, maka tidak ada celah objetivitas yang mampu membuatnya sedikit melihat kebenaran. Hingga, menggunjing kekurangan dan kesalahan orang lain pun jadi hal yang biasa. Berhasil mengorek sisi buruk yang belum terkuak pun menjadi prestasi. Apalagi kalau berhasil membuatnya viral, maka kesalahan itu akan dibesarkan-besarkan meski sebenarnya tidak relevan.

“…Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat ayat 11-12).

Maka, periksalah diri kita saat ini. Apakah ada sisi hati kita yang telah bersenyawa dengan watak “kebabian” itu? Apakah hati kita telah sulit diperingatkan akan kebenaran? Apakah juga mulai mengeras dari ajakan untuk taat? Juga, apakah mulai tidak bisa membedakan mana “konsumsi” halal atau haram; baik itu makananan, informasi, atau gaya hidup? Dan, mulai mati rasa saat membicarakan keburukan orang lain, meski tahu bahwa itu adalah aib dan kelemahan saudara kita sendiri.

Semua indikator itu sejatinya seringkali kita lakukan tanpa atau dengan sadar. Saat diri mulai menjauh dari taat dan perlahan melangkah ke kubangan maksiat; maka, beristighfarlah. Bersihkan diri dari segala dosa dan kotoran yang seringkali kita pilih dan lakukan; tanpa atau dengan sadar itu.

Beristighfar, agar hati kita yang nyaris selalu sakit hingga cenderung mengeras, akibat dosa dari nafsu dan ego itu mendapat obatnya dan bisa kembali pada fitrah-Nya.
Sebagaimana dalam kitab Ihya’Ulumuddin, Abu Qotadah berkata, “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an telah menunjukkan penyakit dan obat penawar bagi kalian (umat manusia). Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa yang diperbuat, sedangkan obatnya adalah istighfar.”

Facebook
WhatsApp
Threads
X
Telegram
Print
Picture of KH Bachtiar Nasir

KH Bachtiar Nasir

Ulama, Pemikir, dan Penggerak Dakwah Islam

Artikel Terbaru