Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah ayat 30).
Manusia memang mahluk Allah Ta’ala yang penuh kontroversi. Kehadirannya di muka bumi pun tidak lepas dari kesalahan Nabi Adam Alaihissalam sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah Azza wa Jalla. Jadi, selain sebagai mahluk-Nya yang ditinggikan derajatnya karena memiliki akal, manusia juga merupakan mahluk-Nya yang menjadi hulu huru-hara dan pelaku maksiat utama di muka bumi.
Mengapa manusia juga sosok pelaku maksiat? Padahal Allah mungkin bisa saja menciptakan manusia serupa malaikat yang senantiasa beribadah dan taat menjalankan perintah-Nya. Apa sebenarnya hakikat maksiat yang dilakukan manusia dalam pandangan hikmah? Inilah esensi dari jawaban Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
Maksiat adalah Ujian
Maksiat sejatinya adalah sisi kebalikan dari taat. Jika taat adalah menjalankan perintah-Nya, berarti maksiat adalah kebebalan dalam melaksanakan perintah atau bahkan menolak untuk melaksanakannya.
Maksiat adalah sisi ujian bagi seorang yang beriman. Apakah ia lulus menjadi orang yang menomorsatukan perintah Allah atau justru ia menjadi orang yang nomor satu menampik perintah Allah dengan mengikuti nafsu dan egonya. Padahal ia memiliki akal yang semestinya menjadi penguat langkah dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala.
Sisi maksiat inilah yang kemudian dipertanyakan oleh malaikat. Maka, mampukah manusia melewatinya dan tetap lurus di sisi taat?
Karena itu, maksiat sejatinya adalah ujian taat. Akan terlihat mana manusia yang benar-benar beriman. Dan, mana manusia yang justru lancung dengan alasan nafsu dan ego. Maksiat dan taat juga merupakan perilaku manusia yang akan terus bertarung; saling berhadapan hingga akhir zaman. Memisahkan barisan umat manusia ke dalam dua lajur tujuan, surga atau neraka.
Mengenalkan Sifat dan Asma Allah
Di sisi lain, maksiat sejatinya juga berfungsi untuk memperkenalkan manusia pada nama dan sifat Allah Azza wa Jalla secara sempurna. Juga aturan dan hukum-hukum-Nya yang berlaku pasti dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Bila dunia ini tidak terkotori oleh dosa dan tidak dikacaukan oleh maksiat, maka apakah fungsinya asma dan sifat Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghafaar), Maha bijaksana (Al-Hakiim), Maha Adil (Al-‘Adl), Maha pemaaf (Al-Afuw), Yang Maha Suci (Al-Quddus), dan nama-nama agung lainnya. Dan, apakah fungsi aturan, ketetapan dan hukum-hukum-Nya?
Ada beberapa nama dan sifat Allah Azza wa Jalla yang baru dikenali seorang hamba, manakala ia sedang melewati ujian atau setelah ia melakukan kesalahan. Dengan modal akal dan hati yang Allah Ta’ala terangi dengan petunjuk-Nya, barulah ia akan memahami mengapa Allah Ta’ala timpakan kepada-Nya hal yang tidak sukai atau mengapa Allah tidak mencegahnya berbuat kesalahan. Dan, di saat itulah ia tahu, bahwa setiap takdir dan ketetapan Allah Ta’ala atas dirinya, pastilah baik.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 216).
Adanya maksiat di muka bumi ini juga akan membuka tabir takdir Allah Yang Mahasuci dan sempurna. Layaknya kisah Wahsyi bin Harb yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dengan tombak. Setelah tombak itu menancap di punggung Hamzah, ia segera merobek dada Hamzah ra untuk memutus jantungnya, mengorek kedua bola mata Hamzah ra, memotong hidung dan mulut Hamzah ra untuk kemudian diserahkan kepada Hindun, istri Abu Lahab.
Saat Fatuh Makah, Wahsyi kemudian menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta maaf beliau dan berserah diri masuk Islam. Ketika menyadari keberadaannya, Rasululllah Shallallahu alaihi wa sallam sejenak terdiam hingga Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar ayat 53).
Di sinilah kita bisa mengetahui betapa dalamnya Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar-Rahiim (Maha Penyayang)-Nya Allah Ta’ala. Meski dosa yang dilakukan luar biasa, maksiatnya juga bukan main-main. Namun, ampunan dan kasih sayang Allah Azza Wajalla itu senantiasa ada. Bahwa, Allah Ta’ala senantiasa bersedia menjadi tempat pulang hamba-Nya yang sudah berkubang dosa.
Bahkan dosa sekaliber membunuh orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah sekalipun. Selalu ada kesempatan untuk bertaubat dan dibimbing-Nya untuk menjadi sebaik-baik manusia. Seperti Wahsyi yang akhirnya menjadi manusia yang berjasa menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia yang dikunjunginya.
Itulah di antara sifat dan asma Allah Ta’ala yang kemudian dikenal oleh manusia karena adanya maksiat dan dosa manusia. Ada banyak hal yang juga kita mengerti dan syukuri pada akhirnya; setelah beratnya ujian dan sakitnya hukuman yang ditanggung akibat kesalahan yang dilakukan.
Begitu pula dengan hadirnya Rasul yang Allah utus dan turunnya Kitabullah sebagai pedoman hidup. Semua itu tak lain berfungsi sebagai jalan keluar dari segala ujian dan maksiat yang senantiasa mengepung kita. Bagaimana contoh sikap, tindakan, dan tuntunan yang Rasulullah Muhammad saw berikan. Tak lain adalah jalan keluar dari masalah bagaimana mengenali dosa, menghindari, dan bagaimana cara bertaubat, apabila kita telah terlanjur melakukannya. Sebagai contoh praktis pelaksanaan Alquran yang berisi tuntunan dan aturan agar kita selamat dalam perjalanan hidup di dunia dan bahagia selamanya di akhirat nanti.*