Oleh:
KH Bachtiar Nasir
RASULULLAH Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan tuntunan kepada umat Islam dalam menentukan kriteria dalam mencari pasangan hidup. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan kepada kita bahwa yang mesti dan utama sekali kita lihat dari calon yang akan menjadi pasangan kita adalah agama dan akhlaknya. Karena dengan keduanya Insyaallah akan menjamin kebaikan dan kebahagiaan bagi pasangan yang menjalankannya. Seorang yang taat dalam beragama akan selalu menjalankan kewajibannya kepada keluarganya dan menegakkan agama Allah dalam keluarganya.
Dan orang yang bagus akhlaknya tidak akan menyakiti keluarganya. Rasulullah SAW bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena 4 hal : hartanya, kemuliaannya, kecantikannya dan agamanya. maka pilihlah yang memiliki agama maka engkau akan beruntung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
إِذا خَطَبَ إِليكم من تَرضَون دينه وخُلُقَه فزوجّوه إِلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
“Jika datang kepada kalian seseorang yang engkau ridhai agama dan akhlaknya melamar (anak perempuan kalian) maka segera nikahkanlah (terima), jika tidak akan terjadi fitnah dibumi ini dan kerusakan yang besar.” (Riwayat At-Tirmizi).
Dua hal inilah, yaitu agama dan akhlak yang harus menjadi standar kita yang mesti menjadi fokus utama dalam memilih pasangan hidup kita agar pernikahan kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita mendapatkan ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga kita. Baru kemudian kita beralih kepada kriteria lainnya yang antara satu orang dengannya lainnya berbeda dalam menentukan kriterianya masing-masing. Dengan kesadaran bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna tidak punya aib dan kekurangan
Di samping dua hal di atas ada beberapa hal yang perlu juga diperhatikan dalam memilih pasangan hidup adalah:
Pertama, memohon dan berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dimudahkan untuk mendapatkan pasangan hidup yang diridhainya. Salah satunya adalah dengan melakukan shalat istikharah. Dalam sebuah Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya disebutkan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا , قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ , يَقُولُ : إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ، ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي ، قَالَ : وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: Rasulullah SAW. mengajarkan kepada kami istikharah pada semua perkara sebagaimana beliau mengajarkan satu surat dari al-Quran. Beliau bersabda: ”Apabila salah seorang dari kalian ingin melakukan suatu urusan maka hendaknya ia shalat dua rakaat selain shalat fardlu, kemudian hendaknya ia berdoa (artinya): Ya Allah sesungguhnya aku meminta pilihanMu dengan ilmuMu, dan meminta keputusan dengan ketentuanMu, Aku meminta kemurahanMu, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan aku tidak ada daya untuk menentukan, Engkaulah yang mengetahui dan aku tidaklah tahu apa-apa, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara gaib. Ya Allah sekiranya Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah baik bagiku saat ini dan di waktu yang akan datang, atau baik bagi agamaku dan kehidupanku serta masa depanku maka tentukanlah itu untukku dan mudahkanlah ia bagiku lalu berkatilah. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa perkara itu buruk bagiku untuk agamaku dan kehidupanku dan masa depan perkaraku, atau bagi urusanku saat ini dan di masa mendatang, maka jauhkanlah ia dariku dan tentukanlah bagiku perkara yang lebih baik darinya, apapun yang terjadi, lalu ridlailah ia untukku” Jabir mengatakan, “Lalu hendaklah ia menyebutkan keperluannya.” (Riwayat Bukhari).
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabat dan umat Islam jika ingin melakukan sesuatu perkara yang mubah agar selalu berserah diri kepada Allah SWT. Berdoa dan memohon petunjuk agar selalu ditunjukkan dan dipilihkan perkara yang baik dan berkah bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat, yaitu melalui shalat istikharah. Kita juga dibolehkan beristikharah dalam perkara sunnah jika itu untuk menentukan prioritas mana yang sebaiknya dan lebih utama kita kerjakan terlebih dahulu.
Dalam mengerjakan shalat istikharah dan berdoa ini, hendaklah kita benar-benar menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Serta mengosongkan jiwa dan hati kita dari dorongan hawa dan nafsu kita agar apa yang akan kita lakukan setelah istikharah itu benar-benar pilihan Allah SWT yang terbaik buat kita.
Adapun mengenai jawaban dari shalat istikharah kita, maka sebagian ulama seperti Imam al-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Azkar. Bahwa jika seseorang telah istikharah maka hendaklah ia mengerjakan apa yang dibukakan hatinya dan dilapangkan dadanya untuk menerimanya dan melakukannya. Beliau mengatakan hal itu berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Sinni dari Anas bin Malik:
قال النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم: إذا هممتَ بالأمر فاستخر ربك سبعاً ثم انظر إلى ما يسبق في قلبك فإنَّ الخير فيه
Nabi SAW bersabda: “Jika kamu ingin melakukan sesuatu maka beristikharahlah kepada Tuhanmu sebanyak tujuh kali, kemudian lihatlah apa yang muncul dahulu di dalam hatimu, karena kebaikan itu ada padanya.”
Tetapi menurut para ulama hadits, hadits ini sangat lemah (dha’if jiddan). Imam Nawawi sendiri dalam kitab al-Azkar mengatakan bahwa sanad hadits ini adalah gharib karena ada perawi yang tidak ketahuinya. Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa jika sanad hadits ini shahih maka hadits ini merupakan sandaran dalam masalah ini, tapi sanad hadits ini sangat lemah. Al-Hafidz al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa dalam hadits ini ada seorang perawi yang dikenal sangat lemah yaitu Ibrahim bin al-Barra`, dan karenanya maka hadits ini menjadi sangat lemah.
Sedangkan sebagian ulama yang lain seperti Imam al-‘Iz bin Abdussalam, Ibnu Hajar dan al-‘Iraqi menjelaskankan bahwa setelah seseorang melaksanakan shalat istikharah maka hendaklah dia melakukan apa yang inginkan. Baik hatinya dilapangkan untuk melakukan itu atau tidak.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab Fatawa: nur ‘ala al-darbinya menjelaskan tidak disyaratkan bahwa seseorang yang melakukan shalat istikharah itu akan melihat sesuatu yang menunjukkan bahwa pilihan ini yang paling baik. Tetapi jika sesuatu itu dimudahkan baginya setelah istikharah maka hendaklah diketahuinya bahwa itulah yang baik untuknya. Jika ia benar-benar telah berdoa kepada Tuhannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan karena di dalam doa istikharah tersebut seorang hamba mengatakan: “Ya Allah sekiranya Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah baik bagiku saat ini dan di waktu yang akan datang, atau baik bagi agamaku dan kehidupanku serta masa depanku maka tentukanlah itu untukku dan mudahkanlah ia bagiku lalu berkatilah.”
Dan Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ fatawanya mengatakan tentang masalah ini: “Jika seseorang beristikharah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka apa yang dilapangkan dadanya untuk melakukannya dan dimudahkan baginya dalam urusannya itulah yang Allah pilihkan baginya”.
Tidak ada dalil apapun atau suatu penjelasan pun dari ulama yang mengatakan bahwa setelah melaksanakan shalat istikharah itu maka kita akan mendapatkan jawababnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui mimpi yang kita alami ketika tidur.
Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas mungkin bisa kita kita simpulkan. Bahwa dilapangkannya dada seseorang yang beristikharah untuk melakukan sesuatu itu bukanlah tanda satu-satunya bahwa hal itu yang terbaik. Karena kebanyakan kita juga melakukan istikharah itu terhadap perkara yang memang sudah kita sukai dan hati kita sudah berkeinginan untuk melakukannya.
Jadi setelah kita melaksanakan shalat Istikharah dengan penuh kepasrahan diri dan keihklasan hati kepada Allah Ta’ala, maka hendaklah kita melakukan apa yang kita inginkan atau kehendaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkannya bagi kita jika itu yang terbaik untuk kehidupan kita di dunia dan akhirat dan akan menjauhkannya dari kita jika itu tidak baik bagi kehidupan dunia dan akhirat kita.
Kedua, hendaknya kita niatkan pernikahan yang akan kita lakukan demi untuk menjaga kesucian diri kita karena dengan itu Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan-Nya. Rasullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُ : الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ التَّعَفُّفَ. رواه الترمذى وابن ماجة والنسائى وأحمد
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolongnya: Orang yang berperang di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang menikah yang ingin menjaga kesucian diri.” (Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Nasa`i dan Ahmad).
Masalah perbedaan kultur atau kedudukan sosial ini kalau dalam Islam masuk ke dalam wilayah al-kafa`ah (sepadan), dalam hubungan pernikahan yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, dan hal itu bisa dikomunikasikan.
Memang Islam menganjurkan agar seseorang mencari pasangan yang sepadan dan ada kecocokan dengannya. Dalam keperibadian, pemikiran, adat kebiasaan ataupun strata sosial agar dalam pernikahan itu tidak banyak diguncang masalah akibat tidak adanya kecocokkan antara keduanya.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ لَهُ : ” يَا عَلِيُّ ثَلَاثٌ لَا تُؤَخِّرْهَا : الصَّلَاةُ إِذَا آنَتْ ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ ، وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدْتَ لَهَا كُفْئًا
Ali Bin Abi Thalib ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya, “Wahai Ali! Ada tiga hal yang tidak boleh kamu tunda-tunda, yaitu shalat jika masuk waktunya, jenazah jika telah datang dan menikahkan wanita yang belum menikah jika engkau telah mendapatkan pasangan yang cocok (sepadan dengannya).” (Riwayat Tirmidzi, Ahmad, Ibnu hibban, Hakim dan Baihaqi).
Namun, hal itu dapat dikomunikasikan dan dikompromikan dan tidak harus menjadi penghalang untuk menikah. Yang terpenting adalah ketaatan dalam menjalankan syariat agama dan akhlak yang baik. Wallahu a’lam bish shawab.*