Oleh:
KH Bachtiar Nasir
“Tiga amalan yang terberat itu ada tiga: bermurah hati di saat kekurangan, bersikap wara’ (berhati-hati) ketika sendirian, dan berbicara yang benar di hadapan seseorang yang diharapkan dan ditakuti.” (Imam Syafi’i)
Di antara amal-amal saleh yang dilakukan untuk memperoleh pahala dan ampunan Allah Azza wa Jalla, ada amal-amal yang sulit dilakukan. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi dan beratnya resiko yang harus dihadapi, tentu amalan-amalan ini memiliki balasan yang besar di akhirat nanti.
Murah Hati Disaat Sulit
Pertama adalah bermurah hati di saat kekurangan. Bila di saat memiliki rezeki yang berlimpah, mungkin seseorang akan mudah untuk bersedekah, berinfak, dan berbagi kepada sesama. Namun, akan lain ceritanya, bila kita dalam keadaan sulit dan sedikit. Berbagi adalah sesuatu yang berat dan mungkin membuat kita berpikir beberapa kali.
Akan tetapi, Allah Azza Wajalla tidak mengajarkan kepada hamba-Nya untuk menjadi orang-orang yang menilih-milih waktu untuk berinfak. Allah Ta’ala memberi predikat takwa; salah satunya kepada orang-orang yang mau berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit. Karena, sekali lagi, memberi di waktu lapang maupun sempit , sungguh bukan sesuatu yang mudah.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al Imran ayat 133-134).
Hanya orang-orang yang memiliki keimanan yang kuat dan hati yang lapang yang dapat melakukan hal ini. Rasulullah Muhammad saw adalah contoh yang terdepan dalam hal bersedekah dan menginfakkan hartanya. Meskipun beliau adalah saudagar yang selalu mendapat keuntungan besar dari perniagaannya; keuntungan itu pada akhirnya menjadi bagian orang-orang dhuafa yang meminta pertongan dari beliau dan Khadijah ra.
Meskipun hampir selalu menang perang , beliau tidak pernah menyimpan harta rampasan perang untuk dirinya sendiri. Bahkan, tidak ada barang berharga yang menghuni rumahnya dan beliau seringkali mengikat batu di perutnya untuk menahan lapar yang mendera lambungnya.
Tangan beliau seperti angin yang membawa kebaikan untuk semua orang. Di setiap waktu, terutama di bulan Sya’ban seperti saat ini dan Ramadhan nanti. Tidak ada seorang pun yang meminta kepada beliau kecuali akan mendapatkannya sedikit maupun banyak. Pemberian beliau kepada umatnya bagaikan tidak pernah memikirkan bahaya kemiskinan yang mungkin datang. Kebahagiaan beliau disaat memberi, melebihi kebahagiaan orang yang menerima pemberian beliau.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berpesan pada sahabat-sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang mencintai harta ahli warisnya lebih dari mencintai hartanya sendiri?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Tidak ada seorang pun di antara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.’ Lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.’” (HR. Bukhari no.6442 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu).
Hati-hati Disaat Sendiri
Selanjutnya adalah bersikap wara meskipun disaat sendiri. Menjaga diri dari maksiat dan berusaha taat adalah mudah dilakukan manakala bersama dengan orang lain. Akan tetapi, menjadi wara’ di saat sendirian, bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Yang ada adalah mudahnya kita terjerumus pada dosa dan maksiat, manakala tidak ada orang yang tahu.
Wara’ sendiri adalah meninggalkan apa-apa yang bersifat syubhat (yang berada di antara haram dan halal), meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, dan meninggalkan perkara mubah (boleh) yang berlebihan. Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan, sebaik-baiknya agama kalian adalah sifat wara’.” (HR.Ath-Thabrani)
Bagaimana bila kita tidak mengetahui apa yang dilakukan itu termasuk maksiat atau taat (haram atau halal)? “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. An-Nasai dan Tirmidzi)
Berkata Benar di Hadapan Penguasa
Amalan terberat yang ketiga adalah mengatakan kebenaran pada seseorang yang kita harapkan sekaligus kita takuti. Ini adalah pekerjaan yang menguji nyali. Apalagi, bila yang kita hadapi adalah seorang penguasa yang dzalim yang tidak segan menghabisi orang yang menentangnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengatakan bahwa inilah jihad yang paling utama. “Jihad yang paling utama adalah perkataan adil di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR. Abu Daud).
Nabi Musa AS sendiri sampai memiliki doa yang hingga saat ini diabadikan di dalam Al-Quran ketika beliau hendak berdakwah pada Firaun. “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuanku dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thoha ayat 25).
Mengatakan kebenaran kepada orang yang kita harapkan atau kita takuti, bisa mendatangkan kemungkinan-kemungkinan yang beresiko. Namun, sesungguhnya amalan ini mengajarkan pada kita sebuah kepastian bahwa Yang Mahabenar dan Yang layak kita takuti hanyalah Allah Ta’ala. Tempat menyandarkan segala harapan dan memohon pertolongan adalah Allah saja. Dialah Pemilik kebenaran mutlak, Yang Mahakuasa, Yang Maha penolong, sekaligus Yang sangat dekat.
Oleh karena itu, yang mampu mengatakan hal ini hanyalah mereka yang sudah memiliki iman sekuat baja di dalam hati mereka. Di antaranya adalah para nabi dan rasul. Seperti Rasulullah saw yang berhadapan dengan penguasa Quraisy, Nabi Musa as yang berhadapan dengan Firaun, Nabi Ibrahim yang menghadapi Namrud, juga Nabi Daud yang menghadapi Jalut dan tentaranya. Dan, para ulama seperti Imam Hanafi yang harus disiksa di penjara, Hasan Al-Banna yang syahid diberondong peluru, dan Buya Hamka yang dipenjara dan disiksa di era Soekarno.
Inilah perjalanan jihad, dakwah, dan amal yang mesti dijalani oleh setiap muslim untuk bisa berbekal yang terbaik menuju akhirat. Yakinlah jalan dan amal yang berat, pastilah akan menuai ridha dan pahala yang juga besar dan berat di timbangan kebaikan di akhirat kelak.*