Apa Kabar Ikhlas Kita?

Jangan beri yang sisa untuk islam

Oleh KH Bachtiar Nasir

Memasuki sepuluh hari babak kedua bulan Ramadhan, coba renungkan ke dalam lubuk hati kita: adakah ikhlas di dalamnya? Jangan sampai kita tergolong orang yang lalai. Jangan sampai ada kesyirikan. Mari cek, apakah keruh keikhlasan kita?

Ikhlas adalah soal kemurnian hati. Rasulullah memberi bimbingan konkrit, bahwa orang Islam yang murni puasanya, shalatnya, dan didasari karena iman karena Allah, shiyamnya hanya diketahui oleh Allah. Ibadah qiyam dan shiyam betul-betul rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah sendiri yang akan menilainya.

Mari, periksa lagi isi hati kita, bagaimana ikhlas kita? Periksa mulai dari niat, apakah qiyam dan shiyam kita murni, atau bercampur dengan yang lain? Andai pada niat terselip ada hal lain selain Allah, maka Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946)

Apakah puasa kita ikhlas karena Allah?

Niat puasa harus setiap malam. Tapi belum tentu kita yang sudah paham selalu mempebaharui niat itu pada tiap malam. Ini bukan cuma soal niat, tetapi pada kemurnian, karena niat yang tidak murni bisa menyebabkan kita lupa pada tujuan utama.

Apa kabar keikhlasan niat kita?

Rasulullah mengingatkan, bahwa puasa yang bisa menghilangkan dosa dan noda di hati adalah puasa yang murni karena Allah. Niat murnilah yang menjadi dasar utama di balik shalat-shalat kita, puasa-puasa, dan zikir kita. Tanda orang yang sudah benar niatnya adalah jika yang dilakukan lillah, karena Allah.

Lalu, bagaimana kabar Ikhlas kita? Adakah materi riya’ di dalam ibadah qiyam dan shiyam kita? Adakah ibadah bercampur pamer dari balik shalat, dari balik puasa, dari balik memberi makan orang berpuasa?

Rasulullah mencemaskan umatnya dalam persoalan riya’ ini. Kata beliau, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.” (HR Ahmad).

Riya’ ibarat duri yang halus tetapi mematikan. Syirik kecil ini bisa tidak disadari oleh seseorang, mungkin juga karena bebal hatinya. Pintu syirik kecil berupa riya’ ini begitu halus, lembut dan tipis, ibarat lubang jarum yang sangat kecil, tetapi hati manusia bisa masuk dan melewatinya. Dia pamer, memperlihatkan kebaikan-kebaikan dirinya kepada selain Allah karena ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Hati-hati, ibadah qiyam dan shiyam dirusak sendiri oleh si hamba dengan syirik kecil ini.

Syirik kecil bisa mematikan tauhid kita, bisa menjadikan kita munafik. Kata Ibnu Abbas, hati yang selamat adalah hati yang tidak tercemari riya’.

Begitu juga sum’ah, memperdengar-dengarkan kebaikan agar didengar oleh orang lain yang seharusnya disembunyikan, lalu disingkap, membuat Allah kecewa. Seharusnya kebaikan hanya ingin didengar oleh Allah semata.

Allohumma innaka ‘afuwwun kariim tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii (“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maka maafkanlah aku.) Dari balik doa ini, para ulama mengatakan agar si hamba beribadah penuh kepada Allah, sehingga semua sel-sel riya’, sel-sel sum’ah segera mati dan bersih dari benihnya.

Mari jaga keikhlasan kita.

Orang-orang yang berpuasa dengan keikhlasannya, ada deklarasi di setiap malam harinya, bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah. Inilah orang-orang yang cintanya murni kepada Allah dan Rasulnya melebihi kepada yang lainnya.

Cinta kepada Allah belum tentu membuat nyaman di hati, apa pun risikonya akan ditempuh, asalkan hanya untuk Allah. Seperti Ibrahim yang menahan pedih harus mengorbankan putranya Ismail, dia lakukan karena perintah Allah.

Tentang ikhlas, hati-hati jika ibadah yang kita lakukan nyaman-nyaman saja. Itu bagian dari jebakan hati. Padahal Allah hanya ingin melihat kemurnian cintamu kepada-Nya.

Sama halnya ketika datang perintah, bahwa Ismail dan ibunya harus pergi ke lembah tandus Mekkah. Sepanjang perjalanan Ibrahim melewati lembah kesedihan akan perpisahan dengan anak dan istrinya, “Bagaimana mungkin bisa kulakukan?”Istrinya tidak tahu, betapa suami sedang teriris hatinya, karena akan berpisah. Begitulah ikhlas, menuntut kesabaran dan pengorbanan hanya demi Allah. Tidak peduli nyaman atau tidak nyaman.

Berhadapan dengan ikhlas, hanya ada dua pilihan, iya atau tidak.

Ikhlas itu menyakitkan dan tidak nyaman.

Ikhlas itu seratus persen untuk Allah, dan tidak ada sisa untuk lainnya.

(*)

Facebook
WhatsApp
Threads
X
Telegram
Print
Picture of KH Bachtiar Nasir

KH Bachtiar Nasir

Ulama, Pemikir, dan Penggerak Dakwah Islam

Artikel Terbaru