Oleh:
KH Bachtiar Nasir
SESUNGGUHNYA Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Adam dan Nuh, keluarga Ibrahim dan keluraga Imran sebagai pilihannya untuk diambil hikmah dan pembelajaran. Allah Ta’ala berfirman pada surat Ali Imran ayat 33:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).”
Pada ayat ini, ada tiga contoh laki-laki ideal. Yang pertama, Adam. Kedua, Nuh. Ketiga dan keempat, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran. Menarik sekali untuk Adam dan Nuh tidak menggunakan kata keluarga. Sementara untuk Ibrahim dan Imran menggunakan kata keluarga.
Seperti kita ketahui bahwa Adam AS adalah bapak biologis manusia pertama sekaligus Nabi yang diuji oleh Allah Ta’ala. Diceritakan dalam Alquran tentang anaknya, Qabil dan Habil. Mereka adalah anak-anak Adam yang tidak tunduk terhadap syariat Allah yang diturunkan lewat Adam.
Begitu juga Nuh, Rasul pertama. Jadi kalau Adam adalah Nabi pertama, maka Nuh AS adalah Rasul pertama. Kenapa Rasul pertama? Karena di era Nuh lah terjadi kemusyrikan pertama kalinya di muka bumi.
Maka Allah utuslah Nuh AS, sebagai Rasul pertama, sekaligus bapak biologis manusia yang kedua. Setelah manusia dimusnahkan karena kemusyrikan, termasuk putra Nuh bernama Kan’an. Allah tenggelamkan mereka. Setelah itu Allah ganti keturunan Nuh dengan yang baru dari istrinya yang baru.
Dalam sejarah, Adam AS ditakdirkan memiliki istri yang shalihah, tetapi tidak ditakdirkan memiliki anak yang shalih. Nuh AS, laki-laki yang ditakdirkan memiliki istri yang tidak shalihah dan tidak memiliki anak yang shalih.
Beda sekali dengan Ibrahim dan Imran. Dalam tonggak sejarah, keluarga Ibrahim adalah nenek moyang manusia ketiga setelah Nuh. Tetapi Ibrahim sebagai manusia, kali ini bukannya bapak biologis tetapi bapak tauhid di muka bumi ini. Ditakdirkan memiliki istri shalehah, dan keturunan yang shalih.
Imran, ayahnya Mariam adalah orang biasa yang ditakdirkan memiliki istri yang shalihah. Mereka tetapi memiliki anak yang suci dan keturunan cucu yang suci. Yang dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagai seorang suami, sekaligus kepala keluarga, seorang ayah memiliki tanggung jawab berat, baik di dunia maupan di akhirat kelak. Di Indonesia, angka perceraian mengalami peningkatan. Dan uniknya perceraian terjadi bukan karena suami yang mentalak, kebanyakan perceraian terjadi karena istri minta dilepas dari suami.
Penyebab tingginya perceraian di Indonesia adalah masalah ekonomi. Tetapi beberapa kasus perceraian faktornya bukan karena suami tidak punya uang. Beberapa kasus di daerah, perceraian terjadi di kalangan PNS yang suaminya bekerja, istrinya juga bekerja.
Apapun alasannya, perceraian terjadi karena suami gagal menjadi suami, dan ayah menjadi ayah. Dalam hal ini saya tidak mengutuk perceraian. Karena di dalam Islam, perceraian perkara makruh yang dibenci Allah tetapi dihalalkan. Tetapi mayoritas data yang saya pelajari, mayoritas perceraian yang tidak “dihalalkan”.
Hanya karena emosi sesaat suami yang tidak dewasa, peceraian terjadi. Hanya karena hawa nafsu laki-laki yang berselingkuh dan menyakiti anak dan istrinya. Imbasnya pendidikan anak dan keluarga terabaikan.
Untuk diketahui, dari data yang saya peroleh, penyebab kenakalan remaja 70 persennya disebabkan dari lingkungan rumah. Dari rumah penyebab masalah. Ayah yang gagal menjadi ayah, dan suami yang gagal menjadi suami.
Belajar dari Yakub
Jika suatu hari rapor sekolah anak kamu bagus, jika suatu hari rapor kuliah anakmu bagus, itu bukan murni karena bapak-ibunya. Tetapi barangkali itu sebagian besar murni karena gurunya. Karena gurunya memiliki kurikulum, ayahnya tidak memiliki kurikulum di rumahnya. Guru yang mengajarkan, ayahnya tidak mengajarkan apa pun karena tidak memiliki kurikulum. Guru nya yang membuat ujian, ayahnya tidak pernah melakukan evaluasi apapun kepada anak-anak nya. Ini persoalan mendasar.
Anak-anakmu adalah jembatan surgamu. Tetapi sebagian besar ayah justru anaknya menjadi penyebab ke neraka. Karena itu para ayah, menjelang kematian Nabi Yakub melakukan satu evaluasi kepada anak-anak nya. Ia bertanya wahai anakku, siapa gerangan yang engkau sembah setelah aku meninggal?
Allah Subahanahu wa Ta’a berfirman:
اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Surat Al-Baqarah [2] ayat 133).
Yakub sukses menjadi seorang ayah, karena anaknya menjawab dengan tiga jawaban. Tiga jawaban ini yang membuat kita sukses menjadi seorang ayah.
Pertama, kami akan menyembah Tuhan ayah.
Kedua, kami tidak akan menyekutukan Allah. Ayahnya tidak hanya mampu mentauhidkan anaknya, tetapi juga mampu membentengi anaknya dari kemusyrikan.
Ketiga, kami akan berserah diri kepada aturan agama.
Kesuksesan Yakub sebagai ayah, karena dia mampu membawa anak-anak nya patuh dan taat terhadap aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tetapi kenyataannya saat ini banyak ayah yang mengajarkan anak-anak nya kepada dunia. Mengajarkan anaknya disiplin hidup untuk dunia. Dan mengikatkan diri kepada perusahaan. Yang bekerja di kantor, yang shalatnya di samping meja kerjanya dan malas shalat berjamaah.
Kenapa banyak tawuran? Karena ayah gagal menjelaskan kepada anak-anak nya siapa yang dimaksud lelaki kuat. Sejatinya anak ayah yang paling kuat adalah anak yang paling kuat ruku dan sujudnya. Sejatinya, anak ayah yang mandiri adalah ketika bangun tahajud tanpa dibangunkan ayahnya. Anak ayah yang mandiri adalah pergi ke masjid sendiri tanpa disuruh oleh sang ayah.
Anak perempuan mu menginginkan agar kamu menjadi cinta pertamanya. Anak laki-laki mu mengharapkan agar kamu menjadi pahlawan baginya. Tetapi betapa banyak anak-anak yang tidak cinta kepada ayahnya. Bahkan ada anak yang tidak suka disebutkan keturunan ayahnya. Apalagi keturunan kakeknya.
Berbeda dengan anak-anak Yakub. Mereka bangga dengan ayahnya, dengan kakeknya.*