Oleh:
KH Bachtiar Nasir
BETAPA butuhnya kita sebagai seorang hamba Allah untuk menyendiri di tengah kehidupan yang penuh dengan segala macam tekanan, kekhawatiran dan cobaan. Agar bisa memfokuskan jiwa dan pikiran untuk bermuhasabah diri sehingga kita bisa memperbaiki diri dan merenungi segala bentuk nikmat dan rahmat Allah kepada kita sehingga kita banyak dan sungguh-sungguh bersyukur kepada Sang Pemberi nikmat.
Betapa butuhnya kita untuk kembali ke dalam suasana penuh keimanan dalam bentuk beritikaf di masjid Allah Ta’ala, bukan karena ingin lari dari permasalahan hidup tapi untuk memperbarui kekuatan jiwa, keyakinan dan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Alangkah indahnya jika itikaf itu kita lakukan di bulan penuh keberkahan ini dalam suasana penuh keimanan dan lingkungan yang dipenuhi dengan segala bentuk ketaatan. Di mana umat Islam di bulan ini berlomba-lomba dalam segala bentuk amal kebaikan dari berzikir, tilawah Alquran, shalat dan sedekah.
Dalam suasana dan lingkungan seperti itu kita menyendiri mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan harapan kita dapat merasakan kebahagian dan manisnya beribadah kepada Allah. Yang sangat sulit kita dapatkan di tengah kesibukan hidup kita yang selalu dipenuhi oleh tuntutan materi dan kesenangan duniawi.
Teladan kita dalam hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu beritikaf di bulan penuh berkah ini. Pada awalnya beliau beritikaf di sepuluh awal Ramadhan. Lalu di sepuluh pertengahannya hingga akhirnya beliau diberitahu bahwa lailatul qadar itu ada di sepuluh terakhir Ramadhan. Maka setelah itu beliau selalu dan tidak pernah meninggalkannya sampai beliau dipanggil menghadap Sang Khalik.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ الْأُوَلِ مِنْ رَمَضَانَ وَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : إِنَّ الَّذِي تَطْلُبُ أَمَامَكَ فَاعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : إِنَّ الَّذِي تَطْلُبُ أَمَامَكَ ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ ، فَقَالَ : مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ ، وَإِنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاءٍ وَكَانَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ جَرِيدَ النَّخْلِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ شَيْئًا ، فَجَاءَتْ قَزْعَةٌ فَأُمْطِرْنَا فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ وَالْمَاءِ عَلَى جَبْهَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيقَ رُؤْيَاهُ
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata, “Rasulullah SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, dan kami pun beritikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta ada di depanmu,” Maka Beliau beritikaf pada sepuluh malam pertengahannnya dan kami pun ikut beritikaf bersama Beliau. Lalu Jibril datang lagi dan berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta ada di depanmu,” Maka Nabi SAW berdiri berkhotbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan dan bersabda: “Barangsiapa yang itikaf bersama Nabi, pulanglah. Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, namun aku dilupakan waktunya yang pasti. Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir yaitu pada malam ganjilnya. Sungguh aku melihat dalam mimpi, bahwa aku sujud di atas tanah dan air. Pada masa itu atap masjid masih terbuat dari daun dan pelepah pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatu di atas langit hingga kemudian datang awan dan turunlah air hujan. Maka Nabi SAW shalat bersama kami hingga aku melihat sisa-sisa tanah dan air pada wajah dan kening Rasulullah SAW. sebagai bukti kebenaran mimpi beliau. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beritikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ ، اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Nabi SAW biasanya selalu beri’tikaf 10 hari dalam bulan Ramadhan, sedangkan pada tahun kematiannya beliau beri’tikaf selama 20 hari.” (Riwayat Bukhari).
Pernah ketika pada suatu tahun beliau mengadakan perjalanan dalam bulan Ramadhan sehingga tidak sempat untuk beritikaf. Maka beliau menggantinya dengan beritikaf 20 hari pada tahun berikutnya. Terkadang beliau menggantinya dengan beritikaf sepuluh hari pada bulan Syawal.
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَسَافَرَ سَنَةً ، فَلَمْ يَعْتَكِفْ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ ، اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW selalu beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, pada suatu tahun beliau mengadakan perjalanan sehingga beliau tidak beritikaf, maka pada tahun depannya beliau beritikaf 20 hari. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Waktu memulai untuk itikaf pada sepuluh terakhir Ramadhan adalah ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Hal ini berdasarkan pendapat ulama, meskipun ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa beliau memasuki tempat itikafnya setelah shalat subuh, yaitu hadist:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Dari Aisyah ra. ia berkata, “Rasulullah SAW jika ingin beritikaf maka beliau shalat subuh kemudian memasuki tempat itikafnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa sebenarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah lebih dahulu beritikaf di masjid. Hadits ‘Aisyah ra tersebut bukanlah menunjukkan Nabi memulai itikaf pada saat itu, namun Nabi sebenarnya telah beritikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh pada hari setelahnya barulah beliau menyendiri di tempat itikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam membuat semacam kemah untuk tempat beliau. Beritikaf dan menyendiri dari segala keduniaan dan hanya bertaqarrub dan berinteraksi dengan Allah SWT. Karena itulah tujuan sebenarnya dari itikaf. sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata: “Rasulullah SAW. melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Beliau SAW. kemudian melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan, dalam sebuah tenda Turki dengan beralaskan selembar tikar.” (Riwayat Muslim).
Beliau tidak pernah keluar dari masjid kecuali kalau ada keperluan yang mendesak seperti buang hajat, makan, minum, bersuci. Shalat Jumat dan kebutuhan mendesak lainnya yang tidak tersedia dan tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ ، فَأُرَجِّلُهُ ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ ، إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ
Dari Aisyah, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW jika sedang beritikaf beliau menyorongkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan sebagai manusia.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Bahkan seorang yang sedang beritikaf tidak disunahkan untuk menjenguk orang sakit atau menyaksikan jenazah agar ia bisa fokus beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT. Betul-betul putus dengan keduniaan yang merupakan tujuan dari itikafnya.
قالت عائشة : السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لا يَعُودَ مَرِيضًا ، وَلا يَشْهَدَ جَنَازَةً ، وَلا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلا يُبَاشِرَهَا ، وَلا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلا لِمَا لا بُدَّ مِنْهُ
Aisyah berkata, “Disunah bagi orang yang beritikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, berhubungan suami istri serta tidak keluar kecuali untuk memenuhi kebutuan yang memang harus dipenuhi.” (Riwayat Abu Daud).
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam betul-betul menggunakan kesempatan itikaf itu untuk fokus dan memperbanyak amal ibadahnya dengan segala bentuk ibadah dari berzikir, membaca Alquran, shalat yang wajib maupun yang sunnah. Beliau tidak menggunakan kesempatan menyendiri dengan Allah SWT untuk tidur, ngobrol atau melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Diriwayatkan:
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
Aisyah ra berkata, “Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Rasulullah SAW lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (Riwayat Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ ، شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Nabi SAW bila memasuki sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hal itu merupakan gambaran akan kesungguh-sungguhan Nabi SAW dalam memperbanyak ibadah dan mengesampingkan segala bentuk kesenangan duniawi yang bisa menganggu fokus dan kekhusyu’an beliau dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab.*