Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. (QS. Al-Kahfi ayat 66-69)
Di dalam perjalanan hidup kita, ada terminal-terminal yang Allah Azza wa Jalla siapkan. Gunanya untuk merefleksikan kembali apa yang telah kita jalani. Mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang selanjutnya menuju Allah Ta’ala. Tak jarang, juga untuk sejenak mempelajari hal-hal baru yang akan memperluas cakrawala hati dan berpikir kita.
Nabi Musa Bersama Khidr
Seperti apa yang dialami Nabi Musa ketika Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk melakukan perjalanan menuju pertemuan dua lautan dan mengambil hikmah dari hamba-Nya yang telah diberi rahmat, Khidr.
Kisah mereka yang diabadikan dalam surat Al-Kahfi ayat 66-82 sudah banyak disampaikan kepada umat. Namun, ada satu kalimat yang menarik dilontarkan oleh Khidr, manakala Musa meminta izin untuk belajar dari dirinya. “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan, bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. Al-kahfi ayat 67-68).
Pernyataan Khidr itu lugas karena memang Khidr AS tahu siapa Nabi Musa AS. Sosok yang cerdas dan bertemperamen tinggi.
Peraturannya, tidak boleh ada pertanyaan dalam pembelajaran yang diberikan dan tidak boleh ada sanggahan dalam apa pun sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Khidr AS. Belum tentu, Nabi Musa AS akan sabar menjalaninya dan belum tentu beliau akan dapat menahan diri. Bukankah dulu, perkara membunuh seorang pemuda Mesir yang menghina kaumnya saja, begitu mudah dilakukan Nabi Musa?
Namun, Nabi Musa segera menanggapi syarat yang diajukan oleh Khidr as dengan lantang, “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”. (QS Al-Kahfi ayat 69).
Dan, perjalanan Nabi Musa mengambil ilmu dari Khidr pun dimulai. Khidr dan Nabi Musa pergi ke dermaga, menaiki perahu dan melubangi perahu yang akan pergi melaut. Nabi Musa terperanjat akan tindakan Khidr tersebut.
Betapa tidak masuk akal apa yang dilakukan oleh Khidr. Bukankah, perahu itu akan digunakan oleh nelayan untuk menghidupi diri dan keluarganya? Nabi Musa pun segera melayangkan pertanyaan dan protes kepada Khidr.
Nabi Musa berkata, “Mengapa kamu melobangi perahu itu, akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Maka, Khidr pun memperingatkan Nabi Musa as atas tindakan sekaligus janjinya.
Tindakan kedua yang dilakukan oleh Khidr adalah membunuh seorang anak kecil yang sedang lucu-lucunya. Tindakan itu sungguh membuat Nabi Musa as gusar dan berkata, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”
Apa yang dilakukan oleh Khidr selanjutnya, tak kalah membingungkan. Kali ini Khidr dan Nabi Musa singgah di sebuah desa. Tak ada seorang pun yang menyapa, apalagi menawari seteguk air dan makanan yang menghilangkan lapar serta dahaga. Yang ada tatapan curiga dan sikap yang memusuhi. Akan tetapi, yang dilakukan oleh Khidr sungguh di luar nalar. Dia berhenti di sebuah rumah tua yang hampir roboh dan langsung memperbaiki rumah tersebut. Musa as pun mau tak mau mengikuti perbuatan Khidr. Setelah rumah itu berhasil diperbaiki, Nabi Musa spontan berkata kepada Khidr, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidr pun menjawab, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Belajar Bersabar
Setelah Khidr as menjelaskan bahwa beliau melubangi perahu untuk mencegah perompak merampas perahu tersebut dari nelayan, kemudian beliau membunuh anak kecil karena kelak si anak akan merusak hidup dan agama kedua orangtuanya, dan memperbaiki kembali rumah yang hampir roboh untuk melindungi harta anak yatim yang tinggal disana; barulah Nabi Musa memahami maksud tindakan Khidr yang pastinya merupakan ilmu dan perintah dari Allah Azza wa Jalla.
Beginilah pula kita, seringkali tidak dapat bersabar dari takdir yang Allah Azza wa Jalla berikan. Semuanya seringkali bersebab dari ketidaktahuan dan ketidaksukaan kita pada takdir yang sedang Allah Ta’ala berikan itu.
Kita pasti tidak akan tahu apa yang Allah Ta’ala kehendaki karena memang akal dan ilmu kita yang terbatas tidak akan pernah bisa menjangkau kuasa dan kehendak Allah Ta’ala. Oleh karena itu, terimalah saja dulu apa yang Allah berikan, berpikirlah positif untuk berusaha memahami apa yang Allah Ta’ala timpakan kepada kita karena setiap takdir Allah itu pasti baik.
Kita harus bersabar untuk tidak mempertanyakan, apalagi menggugat karena pada waktunya, Allah akan membuka tabir takdir-Nya, dalam apa pun bentuk penjelasan-Nya yang pasti kita pahami. Meski batin kita meronta karena saat ini, kita tidak suka dengan apa yang harus kita jalani.
Inilah sedikit di antara ibrah yang dapat kita pelajari dari kisah Nabi Musa bersama Khidr. Bahwa, terimalah saja takdir yang Allah berikan, setelah ikhtiar-ikhtiar terbaik kita lakukan. Bila memang belum sesuai harapan, maka disinilah kita harus bersabar. Yakni, menerima dan mengendalikan diri atas berbagai hal yang tidak kita sukai dan tidak ketahui. Bahwa, inilah saat kita harus belajar untuk memahami setiap takdir Allah Ta’ala: pasti baik. Meski, kita belum mengetahui kebaikan apa yang Allah Ta’ala siapkan di belakang hal-hal “tidak diharapkan” yang sekarang harus kita jalani.*
#TadabburJuz’amma/TadabburAyat-AyatAkhlaq/Tadabbur&Hidayah050125