Oleh:
KH Bachtiar Nasir
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Al Imran ayat 102).
Mencapai predikat orang bertakwa adalah target setiap hamba yang beriman dalam menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Namun, apakah hanya dengan berpuasa selama sebulan penuh, maka seseorang akan seketika menjadi takwa?
Jika melihat bagaimana Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta para sahabatnya mempersiapkan Ramadan bahkan dari tiga bulan sebelumnya, tentu jawabannya tidak. Karena, takwa adalah akumulasi dari proses dan pengamalan yang dalam dari waktu-waktu yang telah dilalui.
Oleh karena itu, untuk melalui proses pemaknaan dan pengamalan yang panjang itu, Allah Azza wa Jalla “mewanti-wanti” kepada hamba-Nya untuk menjadi orang yang benar-benar bertakwa. Dan, memegang teguh ketakwaan itu hingga kelak ia dijemput ajal.
Puasa Hati
Allah Ta’ala menjadikan bulan Ramadan sebagai momen untuk mengkristalisasikan ketakwaan. Terutama dengan menjalankan ibadah puasa satu bulan lebih. Kenapa dengan puasa? Karena puasa adalah pilot project pembersihan dan pengendalian kalbu manusia untuk menjadi takwa. Oleh karena itu, puasa hati adalah puasa tertinggi.
Imam Al-Ghazali mengatakan ada tiga tingkatan puasa bagi orang yang sedang menjalankannya. Puasa pertama atau disebut juga sebagai puasa awam adalah puasanya orang yang hanya menahan lapar dan dahaga serta syahwatnya, semata-mata karena kewajiban. Sama sekali tidak ada iman yang menyertainya. Padahal, orang yang dipanggil untuk melaksanakan ibadah puasa hanyalah orang-orang beriman.
Sebagaimana yang kita lihat pada surat Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Yang kedua adalah puasa orang-orang yang istimewa atau puasa khos. Mereka tidak hanya menahan kebutuhan biologis, tetapi puasa mereka juga mengendalikan perilaku dan berusaha menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan.
Sementara yang ketiga dan yang tertinggi adalah puasa Al-Khawasul khawas atau puasa yang sangat istimewa. Puasa ini tidak hanya sekadar tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, meninggalkan kemaksiatan, meninggalkan kemungkaran; tetapi secara bersamaan orang-orang ini juga menggunakan puasa untuk mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala.
Inilah yang disebut dengan puasa hati. Hatinya menjadi pusat komando untuk menjaga dan mengendalikan jiwa dan raga untuk semata mengejar ridha Allah Azza wa Jalla.
Untuk dapat melaksanakan puasa hati ini, tentu yang harus disiapkan adalah hati. Dimana di hati tersebut, Allah Ta’ala sudah menempati singgasana keagungan-Nya. Bagaimana cara agar Allah Ta’ala berkenan hadir di hati kita? Tak lain adalah dengan menginternalisasi hati kita dengan Alquran.
Jalan Takwa
Jalan takwa itu hanya ada di dalam Alquran dan tidak akan pernah seseorang mencapai posisi takwa kecuali ia telah hidup dengan tuntunan Alquran. Oleh karena itu, sebaik-baik zikir kepada Allah Ta’ala adalah tilawah Alquran. Ramadan juga syahrul Quran karena Alquran sudah turun di bulan Ramadan, jauh sebelum perintah untuk berpuasa diturunkan; yaitu di tahun kedua hijrah. Atau, tahun ke-15 setelah wahyu pertama berupa Alquran surat Al-Alaq diturunkan. Karena itu, akan menjadi ironi manakala di bulan Ramadhan, apabila kita justru tidak menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan Alquran.
Mekanisme puasa di bulan ini, semata memudahkan kita untuk bisa berlama-lama memahami dan menginternalisasi Alquran dalam orientasi serta praktik hidup kita. Untuk menjadi takwa, selanjutnya dijelaskan di dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 2-4 berikut ini, “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan, mereka yang beriman kepada Kitab (Alquran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Beriman kepada yang ghaib, tentu yang pertama dan utama adalah kepada Allah Azza wa Jalla. Mendirikan shalat, berinfaq-zakat-shadaqah, beriman pada Al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Quran; dan yang terakhir adalah beriman kepada adanya akhirat. Dimulai dengan beriman kepada yang ghaib dan diakhiri dengan iman pada adanya kehidupan akhirat. Dua hal yang fundamental untuk membangun karakter diri seorang manusia. Keyakinan adanya Yang Ghaib yaitu Allah Azza wa Jalla beserta ciptaan-Nya yang ghaib seperti malaikat dan jin, akan membuat seorang merasa diawasi dan “tetap dijalur yang seharusnya”.
Keyakinan akan adanya hisab dan akhirat, akan membuat seseorang bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya. Mampu mengendalikan diri dari syahwat dan kecenderungan untuk berbuat maksiat karena ia yakin, ada hari pembalasan dimana segala sesuatu akan dihitung dan dipertanggungjawabkan.
Inilah sebenarnya track pendidikan yang seharusnya. Adanya iman yang selalu menjaga sekaligus mendorong pada amal kebaikan seperti shalat dan berinfaq, dan adanya kontrol yang membuat seseorang bertanggung jawab atas segala tindakan dan pilihannya. Karena, ia tahu, kelak Allah Yang Maha Mengetahui akan mempertanyakan segala tindakannya dan langsung menjadi hakim bagi dirinya.
Pendakian menuju puncak takwa ini memang tidak mudah. Butuh waktu panjang dan Ramadan ini sejatinya adalah momentum recharge saja. Kerja keras dan upaya terbaik kita dibuktikan pada bulan-bulan selanjutnya. Oleh karena itu, mintalah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla agar tidak ada dari amalan Ramadan kita yang sia-sia dan tekadkanlah hati mencapai takwa; maka Allah Ta’ala yang akan menguatkan kita dan menyempurnakannya.*