Oleh:
KH Bachtiar Nasir
SALAH satu bentuk gaya bahasa (uslub) Alquran adalah dengan cerita dan kisah-kisah umat terdahulu. Cerita dan kisah dalam Alquran merupakan cerita dan kisah yang paling benar dan paling bermanfaat bagi umat manusia untuk mendapatkan ibrah dan pelajaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَـٰذَا الْقُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Surat Yusuf [12]: 3).
Banyak sekali hikmah dari cerita dan kisah yang terdapat dalam Alquran, di antaranya adalah:
- Sebagai bahan untuk dipikirkan dan dijadikan sebagai pelajaran:
ذَّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Surat al-A’raaf [7]: 178).
- Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghiburkan orang-orang beriman.
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَـٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Surat Hud [12]: 120).
- Sebagai bukti bagi kebenaran risalah kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam karena tidak ada yang mengetahui keadaan umat-umat terdahulu kecuali Allah SWT.
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ ۛ وَالَّذِينَ مِن بَعْدِهِمْ ۛ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّـهُ
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Surat Ibrahim [14]: 9).
Cerita tentang Nabi Musa dan Firaun banyak sekali disebut dan diulang-ulang dalam Alquran. Cerita tentang Musa dan Firaun ini merupakan cerita yang paling banyak disebutkan dalam Alquran setelah cerita tentang permulaan penciptaan makhluk.
Hikmah
Adapun di antara hikmah banyaknya cerita tentang Nabi Musa dan Firaun yang disebutkan dalam Alquran adalah untuk menunjukkan bahwa di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah untuk memerangi sifat tughyan (melampaui batas) yang ada dalam diri manusia, menjelaskan kejiwaan dan pemikiran orang-orang yang melampau batas itu.
Islam sebagai risalah Allah Ta’ala yang terakhir kepada umat manusia datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk kesyirikan, menjadikan sesembahan selain Allah SWT. Islam menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia, namun jika ia tidak mendapatkan petunjuk dan mengira bahwa dia itu mampu sendiri melakukan apapun yang ia kehendaki, tidak butuh pertolongan Penciptanya maka ia akan melampaui batas. Ketika seorang manusia karena pengaruh hawa nafsunya dan bisikan setan menganggap bahwa ia mampu melakukan segalanya dengan kekuatan dan kecerdasannya sendiri maka ia akan melampaui batas dan menindas manusia lainnya.
Islam memerangi segala bentuk tughyan itu baik dari individu maupun suatu masyarakat. Allah SWT berfirman:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). “(Surat Al-An’am [6]: 116).
Contoh yang paling nyata dari sikap dan perilaku orang yang melampuai batas itu ada dalam diri Firaun. Fir’aun adalah contoh sempurna bagi setiap orang yang sombong dan angkuh di muka bumi ini. Bagaimana dia menganggap bahwa ialah pemilik Mesir beserta penduduk dan sungai-sungainya.
وَنَادَىٰ فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَـٰذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِن تَحْتِي ۖ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Surat. Az-Zukhruf [43]: 51).
Seorang yang melampaui batas menganggap bahwa dia lebih baik dari yang lain sehingga orang lain harus tunduk kepadanya, bahkan sampai menganggap dirinya sebagai Tuhan yang harus disembah.
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (Surat An-Naazi’aat [79]: 24).
Penerimaan bangsa Mesir pada masa itu terhadap Firaun sebagai tuhan mereka yang harus disembah tidak terlepas dari ketidakpercayaan mereka terhadap yang ghaib dan hanya percaya kepada materi yang bisa mereka inderai. Firaun yang sebenarnya menyadari kemampuan dirinya khuwatir terhadap Musa dengan dakwahnya akan merusak kekuasaan dan menyadarkan rakyatnya akan kedudukan dia dan mereka. Maka ia menghasut rakyatnya untuk tidak mendengarkan Musa, dengan dalih bahwa Musa ingin merusak sistem dan cara hidup mereka dan menghancurkan negara mereka.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ
Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (Surat Ghafir [40]: 26).
Di sinilah Allah Subhanah wa Ta’ala memperlihatkan bahwa jiwa para diktator itu sebenarnya kosong dan kalah di dalamnya sehingga mereka menutup-nutupinya dengan melakukan penindasan. Dan untuk dapat melakukan itu ia memerlukan sekolompok kecil orang untuk melakukan segala apa yang dikehendakinya. Seorang diktator menginginkan kestabilan dan keberlansungan kekuasaannya dengan melakukan kezaliman, sedangkan para pembantu yang berada di sekelilingnya ingin mengumpulkan harta kekayaan dengan mematuhi diktator tersebut, karena itu kita sering melihat seorang diktator membiarkan orang-orang di sekelilingnya untuk memakan harta rakyatnya secara batil.
Seorang diktator juga selalu hidup dalam ketakutan akan kehilangan kekuasaan dan segala kesenangan yang dinikmatinya sehingga mereka selalu hidup penuh kecurigaan tidak percaya kepada siapapun bahka kepada orang yang paling dekat kepadanya. Hal itulah yang dilakukan Firaun dengan membunuh setiap anak laki-laki yang lahir dalam Bani Israil karena adanya ramalan bahwa akan lahir dari kalangan Bani Israel seorang anak laki-laki yang akan menghancurkan kekuasaannya.
Kezaliman itu semakin bertambah ketika rakyat hanya menerima saja ketika haknya untuk hidup mulia dan terhormat diinjak-injak oleh penguasa. Hal itu terjadi bisa jadi karena rakyat itu tertipu oleh janji-janji penguasa atau takut kepada penguasa zalim tersebut, ketakutan yang sebenarnya hanya ilusi karena tidak mungkin seseorang bisa berbuat zalim di tengah masyarakat yang menyadari kekuatannya.
Alquran ingin mengapuskan sifat dan perbuatan melampaui batas itu, baik dari diri para penguasa maupun rakyat banyak yang menerima kezaliman itu dan menganggapnya seakan-akan itu adalah sesuatu yang biasa. Inilah salah satu pesan dari banyaknya cerita tentang Nabi Musa AS yang melakukan perlawanan terhadap Fir’aun, penguasa zalim yang melampuai batas.
Wallahu a’lam bish shawab.*