Generasi Hamalat al-Qur`an

Jangan beri yang sisa untuk islam

Oleh:

KH Bachtiar Nasir

 

Hamalat al-Qur`an yang berarti pembawa al-Qur`an adalah mereka yang mendapatkan kedudukan khusus di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai ‘ahli’ dari kalangan manusia. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?” Baginda berkata: “Merekalah ahli al-Quran iaitu ‘ahli’ Allah dan golongan pilihanNya.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Yang dimaksud dengan ahli Allah dalam hadits ini adalah para wali Allah dan golongan yang mendapat yang tempat istimewa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan ahlu al-Quran adalah para penghafal al-Quran yang banyak membacanya dan beramal serta berakhlak dengan akhlak al-Qur`an. Jadi untuk menjadi seorang hamalat al-Quran atau ahlu al-Qur`an tidak cukup hanya dengan menghafal dan selalu membaca al-Qur`an tersebut. Tetapi harus mengamalkan ajarannya, tidak melanggar batas-batasnya dan berakhlak dengan akhlak al-Qur`an.

Imam Tirmizi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan bahwa ahlu al-Quran itu hanya bagi para penghafal dan pembaca al-Qur`an yang tidak ada kezaliman dalam hatinya. Serta tidak ada kejahatan dalam dirinya, dan bukanlah ahlu al-Qur`an kecuali mereka yang sudah mensucikan dirinya dari dosa-dosa baik yang zhahir. Maupun yang bathin dan menghias dirinya dengan segala bentuk ketaatan, dan ketika itulah mereka menjadi ‘ahlu’ Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

سُئِلَتْ عَائِشَةُ ، عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم , فَقَالَت : ” كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Aisyah ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW maka beliau menjawab, “Akhlak Rasulullah itu adalah al-Qur`an.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Bukhari dalam khalqu af’al ali’ibad).

Sehinnga Allah SWT pun mengabadikan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW dalam al-Qu`ran:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Ibnu Mas’ud memberi nasihat kepada para hamalat al-Qur’an agar berbeda dengan orang-orang pada umumnya, “Hendaklah pembawa al-Qur’an itu menghidupkan malamnya di saat manusia tidur, berpuasa di siang hari saat manusia berbuka, menunjukkan kesedihannya saat manusia bersenang-senang, menangis di saat manusia tertawa, diam saat manusia banyak bicara, khusyu’ saat manusia tampak kesombongannya.”

Alhamdulillah, di negara kita sudah banyak tersebar pesantren-pesantren tahfizh al-Qur`an. Sehingga semakin lama maka akan semakin banyak juga anak-anak bangsa ini yang menghafal kitab suci Al-Qur`an. Namun yang harus menjadi perhatian kita tentu tidak hanya menjadi sekadar penghafal dan pembaca al-Qur`an, apalagi hanya digunakan dan dipakai sekadar menjadi imam shalat atau membacakan al-Qur`an pada acara-acara kematian. Para hamalat al-Qur`an harus bisa menjadi agen perubahan dan hijrah umat dari kondisi dan keadaan yang sedang terpuruk ini menuju keadaan kejayaan umat Islam dan berperan serta dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan manusia di Tanah Air tercinta ini.

Generasi Emas

Al-Qur`an yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW ini telah berhasil melahirkan generasi emas, generasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah panjang umat manusia. Yaitu generasi para sahabat Nabi SAW. Sampai saat ini belum pernah lagi muncul satu generasi yang bisa menandingi atau menyamai generasi terbaik tersebut. Meskipun ada juga beberapa pribadi dan tokoh besar di sepanjang sejarah umat Islam, tetapi tidak lagi lahir segolongan besar manusia, pada satu masa dan tempat tertentu, sebagaimana yang telah muncul dan lahir pada masa generasi pertama dakwah al-Qur`an ini.

Sayyid Qutub dalam bukunya Ma’alim fi al-thoriq menyebutkan hal-hal yang membedakan antara generasi sahabat tersebut dengan generasi-generasi yang datang setelahnya, apa rahasia dibalik keunikkan generasi sahabat tersebut dibanding generasi-generasi setelahnya. Sayyid Qutub menjelaskan bahwa al-Qur`an, sunnah Nabi SAW, sirah beliau yang membentuk generasi awal itu tetap ada di tengah-tengah umat ini. Yang tidak ada hanya sosok Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.

Beliau menegaskan bahwa jika memang keberadaan Rasulullah itu suatu keniscayaan agar dakwah ini tetap berlanjut dan memberikan manfaatnya, maka Allah tidak akan menjadikan dakwah ini untuk seluruh umat manusia dan tidak akan menjadikannya sebagai risalah terakhir sampai hari kiamat. Tetapi Allah SWT telah menetapkan bahwa dakwah Islam ini adalah untuk seluruh umat manusia dan dakwah ini tetap akan eksis dan memberikan hasilnya meskipun Rasulullah SAW tidak ada.

Sayyid Qutub kemudian menyebutkan bahwa yang menjadi pembeda antara generasi sahabat tersebut dengan generasi-generasi setelahnya adalah:

Pertama, hanya al-Qur`an lah satu-satunya sumber mata air tempat mereka mengambil air minum. Dari madrasah al-Qur`an inilah mereka keluar dan dengan berdasarkan al-Qur`an itu mereka menyesuaikan dan mengatur kehidupan mereka. Hal itu bukan karena tidak adanya peradaban atau kebudayaan lain, bukan. Bukan juga karena tidak ada ilmu pengetahuan, hasil tulisan ataupun kajian. Karena pada masa itu sudah ada peradaban Romawi yang begitu maju, begitu juga dengan peradaban Yunani dengan segala logika, filsafat dan seninya. Dan juga ada peradaban Persia yang menguasai wilayah yang luas. Dan itu memang di sengaja oleh Nabi SAW untuk menjadikan al-Qur`an sebagai satu-satunya sumber yang membentuk jiwa dan pribadi para sahabat. Bahkan Nabi SAW marah ketika melihat Umar memegang lembaran Taurat, dan bersabda: “Demi Allah! Jika Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidak ada yang boleh dia lakukan kecuali mengikutiku”.

Kedua, dalam manhaj dan cara menerima dakwah al-Qur`an itu. Para sahabat tidak membaca al-Qur`an dengan tujuan untuk mencari dan mendapatkan wawasan atau pengetahuan, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempelajari Al-Qu`ran untuk sekadar menambah pengetahuan, atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqh. Tetapi, mereka menerima dan membaca al-Qur`an adalah untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama jama’ahnya. Mereka menerima perintah itu untuk lansung mereka amalkan dan laksanakan setelah mendengarkannya. Syiar mereka adalah ‘sami’na wa atha’na’. Para sahabat sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud mencukupkan untuk menghafal 10 ayat lalu mengamalkan dan melaksanakan kandungannya, baru kemudian menambah lagi hafalannya.

Ketiga, faktor lain yang perlu menjadi perhatian yaitu ketika para sahabat ini masuk Islam, maka mereka melepaskan diri mereka dari semua masa lalu yang berbau jahiliyyah. Sehingga ketika masuk Islam mereka seakan-akan membuka lembaran baru dari buku perjalanan kehidupan mereka dan menutup rapat-rapat masa kejahiliyyahan mereka.

Kita berharap semoga dengan semakin banyaknya madrasah dan pesantren tahfizh al-Qur`an di seluruh pelosok negeri ini maka semakin banyak juga para hamalat al-Qur`an dengan makna sebagaimana yang dijelaskan di atas yang bukan hanya sekadar menghafal dan membaca. Tetapi menjadi al-Qur`an berjalan dalam realitas kehidupan sehari-harinya sehingga menggambarkan keindahan hidup berdasarkan al-Qur`an yang dapat menjadi agen perubahan dan jirah umat Islam Indonesia menuju arah dan kondisi yang lebih baik. Aamiin.*

Facebook
WhatsApp
Threads
X
Telegram
Print
Picture of KH Bachtiar Nasir

KH Bachtiar Nasir

Ulama, Pemikir, dan Penggerak Dakwah Islam

Artikel Terbaru