Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Itikaf adalah salah satu ibadah sunnah dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana yang selalu beliau lakukan sehingga beliau wafat. Diriwayatkan dalam suatu hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beritikaf pada sepuluh terakhir Ramadhan sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau beritikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Imam al-Zuhri berkata, “Sungguh aneh umat Islam! Bagaimana mungkin mereka meninggalkan itikaf padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya sejak datang ke Madinah sampai beliau wafat.”
Itikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan niat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan itu maka itikaf adalah ibadah yang harus dilakukan di masjid bukan di tempat lainnya, hal itu juga sesuai dengan firman Allah.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam mesjid.” (Surat al-Baqarah [2]: 187).
Sebagaimana dalam ibadah-ibadah lainnya bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama dalam semua ketentuan ibadah itu kecuali ada dalil yang menunjukkan perbedaan antara keduanya. Dalam masalah itikaf ini tidak ada dalil yang melarang seorang perempuan untuk beritikaf di masjid sebagaimana laki-laki. Bahkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas ditegaskan bahwa istri-istri juga beritikaf setelah beliau wafat.
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan para istrinya untuk beritikaf.
عنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ ، قَالَ : فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ ، فَأَذِنَ لَهَا ، فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beritikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat itikaf beliau. perawi hadits ini mengatakan, “Maka ‘Aisyah meminta izin kepada nabi untuk beritikaf. Beliau pun mengizinkannya dan Aisyah membuat kemah di dalam masjid.” (Riwayat Bukhari).
Menurut pendapat yang kuat di kalangan ulama bahwa masjid yang digunakan untuk tempat itikaf adalah masjid yang disitu selalu dilakukan shalat jamaah. Karena kalau dilakukan di masjid yang di situ tidak dilakukan shalat jamaah maka akan menyebabkan orang yang beritikaf sering keluar dari tempat i’tikafnya untuk melaksanakan shalat jamaah dan itu bertentang dengan itikaf itu sendiri yang menuntutnya untuk berdiam diri di masjid dan tidak keluar tanpa alasan yang mendesak.
Tentunya lebih afdhal jika masjid itu juga merupakan masjid tempat dilaksanakannya shalat Jumat sehingga ia tidak perlu keluar untuk melaksanakannya.
Tetapi, khusus untuk perempuan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak disyaratkan dilakukan di masjid yang selalu dilakukan shalat jamaah di dalamnya. Karena shalat berjamaah itu tidak diwajibkan ke atas perempuan, maka ia boleh beritikaf di masjid manapun.
Tetapi, jumhur ulama mensyaratkan bahwa itikafnya seorang perempuan itu harus atas izin suaminya jika ia sudah bersuami. Hal itu demi untuk menjaga keutuhan rumah tangga mereka, dan juga dianalogikan kepada larang istri untuk berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya jika suaminya itu ada di rumah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:
عن أَبِى هُرَيْرَةَ ، قال: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ ، فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hendaknya ada tempat khusus untuk perempuan di masjid tersebut agar tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan di dalam masjid tersebut yang bertentangan dengan maksud dari itikaf itu sendiri yaitu agar seseorang baik laki-laki atau pun perempuan bisa menyendiri dan asyik masyuk bersama Rabbnya, memfokuskan dirinya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana yang dicontohkan oleh para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membuat semacam kemah-kemah di masjid untuk dijadikan sebagai tempat itikaf mereka.
Semoga kita bisa memanfaatkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan tahun ini dengan sebaik-baiknya dalam bentuk memperbanyak segala amalan yang dianjurkan dan disunnahkan. Termasuk dengan beritikaf di masjid agar ketika Ramadhan berlalu kita berhak mendapat gelar sebagai pemenang karena menapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam bish shawab.*
KH Bachtiar Nasir