Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Qs. Az-Zumar ayat 53).
Di dalam ayat ini ada tujuh sebab yang akan membuat seorang hamba kembali memperoleh harapan. Manakala dia sudah dalam keadaan putus asa, tidak lagi melihat cahaya yang akan membawanya dalam kebahagiaan, atau dalam keadaan yang lebih baik. Ini adalah ayat yang akan membuat seseorang akan kembali melihat bahwa jalan hidup itu sesungguhnya masih ada.
Sebab yang pertama adalah penisbatan kepada diri-Nya sebagai hamba-Nya dan mendudukkan kita pada posisi yang paling mulia yaitu posisi sebagai hamba yang berada di bawah pengawasannya. Di dalam kendali aturan-Nya dan masih berada di cakupan naungan kasih sayang-Nya. Hal ini tersurat dalam kalimat, “Hai hamba-hamba-Ku.” Pengakuan Allah Ta’ala kepada kita sebagai hamba-Nya mungkin adalah hal yang biasa bagi sebagian orang atau orang yang belum pernah merasakan hampanya kehilangan harapan dan benar-benar tidak tahu lagi harus meminta pertolongan kepada siapa.
Namun, akan lain ceritanya manakala kita kelak berada di malam pertama di alam kubur kita, disaat kita dibangunkan di alam barzakh. Di saat itulah kita akan merasakan ketakutan dan keasingan yang amat sangat. Di saat itu pulalah kita benar-benar sangat berharap bahwa Allah Azza wa Jalla akan datang mengakui kita sebagai hamba-Nya. Kemudian Dia berkenan menolong kita dari situasi yang sangat mencekam tersebut. Kita akan berteriak sekuat dan sekeras yang kita bisa agar Allah ta’ala mau mendengat dan menolong kita. Tidak ada yang akan mampu memberi harapan dan menghapus ketakutan kecuali Dia. Kita disaat itu benar-benar sangat membutuhkan pengakuan dan panggilan-Nya atas diri kita. Sebagai bukti bahwa kita adalah hamba-Nya dan akan selamat dengan panggilan-Nya terhadap diri kita. Ketahuilah, orang yang paling beruntung di saat itu adalah dia yang dipanggil sebagai “Abdi” atau hamba-Ku.
Yang kedua, predikat sebagai hamba ini tetap berlaku pada mereka yang telah melampaui batas dalam melakukan maksiat. Sesungguhnya mereka yang telah melampaui batas terhadap dirinya ini tidak membahayakan Allah Azza Wajalla dan keagungan-Nya karena dosa yang mereka perbuat. Sebaliknya, yang terjatuh dalam jurang bahaya itu sejatinya adalah diri kita sendiri. Kita sendiri yang telah mendatangkan penderitaan bagi diri sendiri, akibat dosa yang kita kerjakan. Namun, Allah dengan kasih sayang-Nya tetap memanggil mereka dengan sebutan, “Hamba-Ku” yang berarti ampunan dan bekas kasih-Nya tetap berlaku di atas mereka.
Yang ketiga, Allah secara tegas melarang mereka berputus asa dari rahmat-Nya, dengan berfirman, “laataqnathu mirahmatillah” yang artinya janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Bahkan bagi mereka yang telah berlebih-lebihan dalam berbuat dosa. Alias mereka yang banyak melakukan dosa besar yang nyata-nyata berat dosanya. Apalah lagi bagi mereka yang berusaha menjaga diri untuk tidak berdosa, yakinlah rahmat Allah senantiasa terbentang luas.
Jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Kaum Nuh yang menjadi pionir kesyirikan di atas muka bumi ini saja masih diberi kesempatan untuk memperoleh ampunan serta rahmat-Nya. Bahkan, Firaun pun masih diberi kesempatan untuk bertaubat.
Yang keempat adalah penegasan mutlak bahwa sesungguhnya Allah pasti mengampuni dosa-dosa tanpa kecuali. Tidak menyisakan keraguan dengan adanya kata adz-dzunuub.
Yang kelima, Allah Ta’ala menguat kata Adz-Dzunuub dengan Jamii’aan. Hingga jelaslah bahwa semua dosa. Semuanya tidak ada yang terluput dari-Nya
Yang keenam adalah alasan dari pengampunan itu karena sesungguhnya Dialah Al-Ghafuur. Yang artinya Yang Maha banyak ampunan-Nya. Yang Mahabanyak mengampuni dosa. Yang maknanya adalah mengampuni dosa-dosa dan menutupi dosa-dosa serta memaafkan kesalahan. Sifat ini adalah sifat yang kekal bagi Allah Ta’ala. Tidak akan terpisahkan dari Allah Azza Wajalla. Sebanyak apa pun dosa itu, Allah Ta’ala akan datang mengampuni.
Seringkali kita sebagai hamba mengulangi kesalahan, kembali melakukan dosa, dan kembali datang dengan noda maksiat. Namun, Allah Ta’ala akan tetap pada status-Nya sebagai Al-Ghofuur.
Dan, yang ketujuh, Allah tetap sebagai Ar-Rahiim. Yang Maha penyayang kepada hamba-Nya. Yang Maha mengetahui ketidakmampuan kita. Yang Maha mengetahui faktor-faktor yang menguasai hati hamba-Nya. Baik dalam diri mereka seperti nafsu yang buruk, kecenderungan syahwat, maupun sifat-sifat buruk mereka.
Ataupun, faktor yang berasal dari luar diri mereka seperti godaan setan, maupun tipu daya setan yang menyerang dari segala arah. Juga antek-antek iblis yang menggerakkan hati serta tubuh manusia untuk menjauhkan setiap manusia dari Tuhannya. Seperti apa pun jenis dan bentuk kesalahan itu diperbuat. Entah karena hadir dari dorongan hati yang lemah iman, maupun dahsyatnya tipu daya setan; Allah Ar-Rahiim akan tetap hadir dengan ampunan dan rahmat-Nya.
Itulah tujuh pintu harapan yang senantiasa Allah Ta’ala bukakan. Inilah ayat yang paling memberikan harapan. Moga-moga tidak ada sedikitpun putus asa terbit dari dalam hati kita karena Allah Azza Wajalla tidak pernah menutup pintu ampunan dan rahmat-Nya.
Diriwayatkan dari Ibnu Thuail Syaqot Al-Mahmud, bahwa dia datang kepada rasulullah saw dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang orang yang sudah melakukan semua dosa, tanpa menyisakan satu dosa pun dan dalam melakukannya dia tidak meninggalkan satu pun keperluan kecil maupun besar kecuali telah dia lakukan. Adakah baginya peluang untuk bertaubat? Rasulullah kemudian bertanya, Apakah kamu telah masuk Islam? Maka dia menjawab, ada pun aku: “Aku pun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan Engkau adalah utusan Allah. Maka Rasulullah saw bersabda, “ Maka lakukanlah amal-amal kebaikan dan tinggalkanlah kejahatan-kejahatan, maka Allah akan menjadikan semua dosa-dosamu menjadi kebaikan semuanya. Maka Allah akan mendaur ulang semua dosamu sebagai pahala untukmu. Aku kembali bertanya, ‘Bahkan untuk dosa pengkhianatan dan kefasikanku juga? Rasul menjawab, ‘Iya.’ Maka aku pun bertakbir dan terus bertakbir, hingga akhirnya menjauh dari pandangan beliau.”*