Oleh KH Bachtiar Nasir
Sungguh rugi jika momen Ramadhan berlalu begitu saja seperti rutinitas biasa. Ibadah minus cinta dan taqorrub itu seperti terasa jauh sekali dari Allah. Sebab kalau gagal mencintai Allah, mendekat kepada-Nya pun makin sukar.
Ramadhan adalah momentum untuk mahabbah dan taqorrub (mencintai dan pendekatan diri kepada Allah). Apakah setelah atau saat kita membaca Qur’an hati masih terasa kosong? Bacaan Al-Qur’an hanya demi mengejar target khataman saja, padahal seharusnya bacaan Al-Qur’an menjadi penghubung antara kita dengan Allah.
Orang-orang yang berkelas adalah mereka yang dikatakan dalam penggalan ayat:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ,
Inna akromakum ‘indalloohi atqookum.
(Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu)
Taqwa adalah meninggalkan maksiat, meninggalkan syubhat. Taqwa disertai dengan mahabbah dan taqorub inilah yang menjadi media untuk mendekatkan kita kepada Allah.
Lelahnya orang yang cinta kepada Allah sampai lelah shalatnya, tetapi dia punya kepuasan. Beda dengan mereka yang lelahnya pakai perhitungan. Misal membaca Qur’an dihitung sudah berapa halaman. Dia akan mencari hiburan karena merasa capek. Tidak merasakan bahwa membaca Qur’an adalah hiburan.
Ibadah yang tanpa cinta akan terasa hampa. Padahal ibadah kita seharusnya dapat meningkatkan saturasi kedekatan hamba dengan Allah. Karenanya kerja-kerja Ramadhan harus menjadi modal untuk makin dekat kepada Allah.
Mahabatullah, adakah Dia terngiang-ngiang di kalbumu? Padahal Dia adalah kekasihmu. Kenapa terasa makin jauh dari Allah? Karena banyak rutinitas yang membuat kita kehilangan rasa seperti itu.
Ada kata bijak, “Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah hidayah, maka ia akan semakin jauh dari Allah.” (HR. Abu Nu’aim). Saat kita jauh dari-Nya, maka kita menjadi dzalim.
Rasakan Manisnya Iman
Tidak bisa disebut manis dan nikmatnya iman kalau cinta belum melebihi kepada Allah dan rasul-Nya.
Anas bin Malik Radhiallahu Anhu dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, mengatakan, “Ada tiga siapa pun yang berada di dalam yang tiga ini, dia akan merasakannya manis dan lezatnya iman:
- Hendaklah Allah dan rasul-Nya yang lebih di cintainya selain keduanya.
- Hendaklah dia tidak mencintai seseorang kecuali cintanya karena Allah.
- Dia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya dia jika dilempar ke neraka.
Makna hadits tersebut adalah, cinta kita kepada Allah dan Rasulullah harus diutamakandan melebihi terhadap apa pun, apalagi cinta kepada dunia, kepada keluarga. Seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mendahului egonya.
Lihatlah cintanya Nabi Ibrahim kepada Allah, sampai tidak ada self love untuk dirinya sendiri. Tidak pantas bagi seorang mukmin mencari pilihan lain, kalau Allah sudah tentukan pilihan. Seperti Nabi Ibrahim, tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi perintah Allah untuk meninggalkan istri dan putranya, Ismail, di lembah yang tandus di Mekkah. Di serahkan semua urusannya kepada Allah.
Semua takdir Allah baik, kitalah yang mengklasifikasikan takdir baik dan buruk, karena belum sempurna iman kita.
Dengan kekuatan mahabbah dan taqorrub kepada Allah, terlebih di momentum Ramadhan ini, lezatnya iman akan terasa. Jangan lupa perbaiki niat juga, agar semua kerja-kerja dan ibadah kita di bulan Ramadhan terasa lebih bermakna.
(*)