Mendidik dengan Hikmah

Jangan beri yang sisa untuk islam

Oleh:

KH Bachtiar Nasir

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”.”

Pendidikan yang menerapkan sistem yang hebat dan menghasilkan kader penerus bangsa yang hebat, hanyalah bisa dihasilkan dari tangan-tangan para guru yang hebat. Sementara itu, guru yang hebat adalah dia yang bisa mengajar dengan hikmah. Apa yang dimaksud dengan hikmah? Hikmah adalah buah dari pendidikan yang berhasil mengenalkan seorang manusia pada Allah, Tuhan Yang Maha menciptakan-Nya, Rabb semesta alam yang juga telah merawat dan memberikan semua yang terbaik untuk hidupnya. Ilmu saja tidak cukup untuk bisa mengantarkan seorang manusia untuk mengenali asma dan sifat Allah yang diwakili oleh setiap tindakan dan kehendak-Nya di muka bumi ini.

Ilmu dan Amal Saleh
Dibutuhkan kecemerlangan hikmah yang akan membuat seorang murid memahami, mengapa setiap apa yang ada di bumi memiliki takaran dan ukurannya masing-masing, mengapa setiap sisi kehidupan memiliki sisi baik dan buruk yang harus benar-benar mampu dibedakan olehnya, mengapa setiap ada perintah juga ada larangan yang mengaturnya; dan berbagai hal yang harus dipahami dengan sudut pandang yang tepat dan jernih. Inilah yang disebut dengan pendidikan yang nantinya akan menghasilan generasi hebat yang tidak hanya memiliki ilmu yang mumpuni, tetapi juga keutamaan adab yang selaras dengan tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Allah Subhanu wa Ta’ala mengabadikan kisah Luqman Al-Hakim yang dikaruniakan-Nya hikmah. Yaitu, ilmu yang haq, sesuai dengan kehendak dan aturan-Nya. Ilmu yang selaras dengan perintah-Nya dimana di dalamnya terkandung rahasia-rahasia kehidupan yang hanya dapat dipahami, jika menggunakan ilmu yang diajarkan-Nya melalui Al-Quran, sunah Rasul-Nya, dan hikmah. Seseorang bisa saja menjadi seorang alim (berilmu), akan tetapi belum tentu dia hakim (bijaksana). Sebab hikmah itu mengharuskan adanya ilmu dan adanya amal. Maka dari itu hikmah ditafsirkan (diartikan) dengan ilmu yang bermanfat dengan disertai amal shalih.

Ilmu yang benar dan amal shalih ini merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Luqman al-Hakim memandang hikmah merupakan sesuatu yang bisa didapatkan dengan duduk bersama orang-orang shalih yang dijadikan panutan, sebagaimana dalam wasiatnya kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan bersimpuhlah di hadapan mereka dengan kedua lututmu. Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghidupkan hati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghidupkan bumi yang tandus dengan tetesan air hujan.”

Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang bersifat santun kecuali yang mempunyai kekeliruan, dan tidak ada yang bersifat hikmah (bijaksana) kecuali yang mempunyai pengalaman.” (HR. Bukhari).

Artinya, kesantunan tidak akan pernah dimiliki oleh seseorang yang tidak pernah merasa bersalah dan meminta maaf kepada orang yang telah terkena dampak kesalahannya. Lalu, ia mengambil pelajaran, mengidentifikasi tempat dan sebab ia berbuat kesalahan, lalu menjauhinya. Inilah yang disebut dengan hikmah atau kebijaksanaan, yang harus menjadi hulu dari sebuah proses pembelajaran.

Metode Membaca Hikmah
Untuk bisa menjadi seorang guru, orangtua, dan pendidik yang mampu mendidik anak-anak muridnya dengan hikmah, Surat Al-Alaq ayat 1-5 merupakan konsep utama yang diberikan langsung oleh Allah Azza wa Jalla.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq ayat1-5).

Ayat pertama, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk membaca dengan menyebut nama-Nya Yang Maha Pencipta. Kita diminta untuk “membaca” apa yang telah Allah Azza wa Jalla ciptakan. Segala hal yang menjadi fenomena alam, segala hal yang terjadi di sekitar kita. Segala hal yang terjangkau oleh indera yang diberikan-Nya. Dimulai dari apa yang ada dalam diri kita.

Proses penciptaan kita, manusia yang dimulai dari segumpal darah, hingga menjadi embrio, pembentukan organ, dan sebagainya; hingga kita menjadi bayi yang siap dilahirkan ke dunia. Bila kita melihat fenomena penciptaan diri sendiri, tentu kita akan menyadari bahwa segala sesuatu yang kini berfungsi dalam diri kita, mustahil tanpa ada yang menciptakan, memerintahkan, dan memprogramnya untuk beroperasi maksimal bahkan hingga detik ini. Membaca setiap fenomena yang ada dalam diri dan alam semesta ini, sungguh telah banyak mengantarkan banyak orang mengenali kembali fitrahnya, sebagai seorang hamba Allah.

Metode yang kedua adalah membaca dengan menyadari kemuliaan-Nya yang tercermin dari asma dan sifat-Nya. Asma dan sifat-Nya mencerminkan apa yang terjadi di kehidupan dan alam semesta ini.

Apa yang kita hadapi dan jalani saat ini pun adalah wujud dari kehendak dan perilaku-Nya yang tersebut dalam asma dan sifat-Nya. Apa yang menjadi kehendak-Nya, perilaku-Nya, perintah dan larangan-Nya tersebut termaktub dalam kalam-Nya yang agung; Al-Quran dan dijabarkan implementasinya dalam sunah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Dua metode utama dalam “membaca” inilah yang akan mengantarkan manusia untuk mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui olehnya. Satu yang harus kita pahami bahwa pengetahuan itu kadang tidak akan dapat dijangkau oleh pikiran dan kecerdasan manusia yang terbatas. Yang mampu membuat manusia mendapatkan pengetahuan yang diimpikannya adalah Allah Yang Maha mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Inilah yang kadang terlewat dari apa semestinya disampaikan seorang pendidik kepada anak didiknya. Sehingga seorang anak kadang hanya mendapatkan motivasi belajar untuk mengejar prestasi dari orangtuanya; tapi orangtuanya lupa mengajarkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dan bersyukur.

Tak dapat dipungkiri bahwa puncak ilmu adalah ketika seorang manusia mampu mengenali bahwa Allah adalah Tuhannya yang Maha menciptakan, memelihara, dan mendidiknya selama ini. Meski seseorang sudah bergelar profesor, tapi bila dengan ilmunya dia belum mampu mengenali Allah sebagai satu-satunya Tuhannya, maka tidaklah ia dikatakan sebagai orang yang berhasil dengan ilmunya. Dan, tidaklah dapat dikatakan ilmunya berbuah menjadi manfaat dan berguna, manakala ilmu tersebut belum dapat mewujud menjadi hikmah yang membahagiakan sesama.*

Facebook
WhatsApp
Threads
X
Telegram
Print
Picture of KH Bachtiar Nasir

KH Bachtiar Nasir

Ulama, Pemikir, dan Penggerak Dakwah Islam

Artikel Terbaru