Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (QS. Al-Buruuj ayat 19-22).
Bagaimana cara pandang kita terhadap ayat-ayat Al-Quran akan mempengaruhi bagaimana kita menyikapi fenomena ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di ayat 19-22 surat Al-Buruj, Allah Ta’ala memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka, kaum Firaun dan kaum Tsamud, selalu mendustakan ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Meskipun, apa yang mereka dustakan itu terang benderang kebenarannya dan selalu ada di bawah pengawasan Allah Azza Wajalla. Yang dengan itu, mereka tidak pernah punya peluang untuk bebas dari balasan dusta mereka.
Dusta Setiap Masa
Di dalam surat Al-Buruj ini, orang-orang kafir dipanggil Allah Subhanahu wa T’ala dengan berbagai sebutan yaitu,
Pertama, ashabul ukhdud: yang artinya adalah orang-orang yang membuat parit, mengisinya dengan kayu dan bahan bakar lainnya; kemudian menyalakannya dan memaksa orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk masuk ke dalamnya.
Kedua, fatanul mu’minin wal mu’minah. Artinya orang-orang yang menyusahkan orang-orang beriman. Mereka ingin terus menyiksa dan menyusahkan orang beriman.
Mereka tidak ingin membunuh orang-orang beriman, tetapi mereka ingin orang-orang beriman melepaskan imannya dan menjadi kafir.
Ketiga, al-junud. Mereka ini adalah tentara-tentaranya orang kafir. Di antaranya adalah kaum Fir’aun dan Tsamud. Ini juga sesuai dengan sikap mereka yang senang menjajah dan sewenang-wenang.
Keempat, orang-orang kufur. Yaitu orang-orang yang kufur terhadap perintah dan karunia-Nya.
Dari semua sebutan itu, ada satu perbuatan yang sama dari mereka semua yaitu mendustakan ayat-ayat Allah. Dan, sikap mendustakan ini merupakan pangkal dari sejumlah kebohongan dan kedzaliman yang kelak mereka lakukan tanpa ragu. Dengan demikian, orang-orang kafir di zaman apa pun, sesungguhnya memiliki tabiat yang sama yaitu mendustakan Al-Quran.
Istilah mendustakan itu digunakan karena apa yang mereka ingkari adalah ayat-ayat Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Sesuatu yang selalu benar dan tak ada yang mampu membantah kebenaran yang ada dalam kitab suci yang diturunkan saat itu.
Orang-orang kafir itu “berada di dalam” kedustaan yang mereka ada-adakan. Sehingga mereka terlena dan tenggelam dalam kedustaan tersebut. Sementara Allah Ta’ala mengepung mereka dari belakang, juga setiap arah sedangkan mereka tidak menyadari dan tidak dapat keluar dari perbuatan buruk yang mereka lakukan. Seperti yang dialami oleh Ashabul Ukhdud, Firaun dan bala tentaranya, juga kaum Tsamud; yang tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat melarikan diri ketika azab datang. Semuanya terkepung, “tenggelam” di dalam azab yang turun akibat perbuatan tangan mereka sendiri.
Menghadapi Pendusta
Di akhir zaman ini, kedustaan terhadap Al-Quran bagaikan sesuatu yang “dibiasakan”. Bahkan, kita sendiri sebagai umat Islam seakan dipaksa untuk memaklumi polah orang-orang yang berusaha menutupi kebenaran yang dibawa oleh Al-Quran yang mulia.
Padahal yang mereka dustakan adalah Al-Quran yang mulia dan memiliki kedudukan yang tertinggi dibandingkan kitab-kitab Allah Ta’ala yang lain. “Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” Ayat 22 ini, menunjukkan bahwa Al-Quran sama sekali bukanlah sesuatu yang terjangkau oleh kehinaan orang-orang yang suka berdusta ini. Karena selain lebih tinggi kedudukannya dibandingkan kitab yang lain, kandungan dan susunannya adalah kesempurnaan yang kebenarannya absolut dan tidak tersentuh oleh sesuatu yang rendah. Tempatnya ada di posisi yang tertinggi yaitu, Lauh Mahfuzh.
Lalu bagaimana sikap kita di hadapan para pendusta agar kita mampu menjadi pembela Al-Quran di depan mereka? Buktikalah kepada mereka, para pendusta Al-Quran bahwa Al-Quran adalah kitab yang mulia. Yang di dalamnya adalah kebenaran yang tidak mampu dibantah oleh seorang manusia yang mengaku paling pintar dan paling berkuasa sekali pun. Tentunya, ini menantang kita untuk banyak belajar, menggali dan memahami kebenaran itu sendiri, hingga akhirnya hal itu semakin memperkuat keyakinan dan keimanan.
Yang kedua, yakinilah bahwa Al-Quran akan senantiasa tersimpan di tempat tertinggi. Yang tidak akan tersentuh oleh rendahnya kemampuan bernalar dan berindera manusia. Sehingga Allah akan menolong kita dengan menambah pengetahuan kita tentang “tinggi ”dan terjaganya Al-Quran.
Sekali lagi dengan semakin mendekatkan dan memuliakan Al-Quran di hati kita. Sehingga, apa pun yang manusia katakan tentang Al-Quran, tidaklah sedikit pun mampu menurunkan derajatnya.
Berimanlah, bertakwalah, dan belajarlah.
Yakinlah bahwa Allah-lah yang Maha menjaga Al-Quran dan kita wajib menjadi bagian dari orang-orang yang menyangga kemuliaan Al-Quran di semesta ini.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr ayat 9).*