Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Menjelang Hari Raya Idulfitri, biasanya di Indonesia ada tradisi penukaran uang yang biasanya digunakan untuk berbagi ke sanak keluarga pada hari Lebaran. Pertanyaannya, apa hukum menukar uang saat Lebaran dengan membayar biaya tambahan admin?
Hamba Allah.
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam menjawab pertanyaan ini, di antaranya sebagai berikut:
Prinsip dalam Tukar-Menukar Mata Uang
Dalam Islam, uang kertas dan logam memiliki kedudukan hukum yang sama seperti emas dan perak dalam masalah transaksi. Oleh karena itu, tukar-menukar mata uang dengan mata uang yang sama harus memenuhi dua syarat:
Pertama, at-Tamātsul (التَّمَاثُل): Harus sama nilainya (tidak boleh ada kelebihan dari salah satu pihak). Kedua, at-Taqābuḍh (التَّقَابُض): Harus dilakukan secara tunai (langsung dalam satu majelis). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ، وَالبُرُّ بِالبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالمِلْحُ بِالمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan seimbang (mislān bimisl), serta dilakukan secara tunai (yadan biyadin). Namun, jika berbeda jenis, maka juallah sesuka kalian asalkan dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis ini, menukar mata uang dengan nominal yang sama diperbolehkan, tetapi jika ada kelebihan (biaya admin), maka itu masuk dalam kategori riba.
Fatwa dan Pendapat Ulama
Ulama telah membahas hukum tukar-menukar mata uang dalam berbagai kitab fiqih. Imam al-Hajjawi dalam kitab “Al-Iqnāʿ li-Ṭhālib al-Intifāʿ fī Fiqh al-Imām al-Mubajjal Abī ʿAbdillāh Aḥmad bin Ḥanbal” (2004: II/52) berkata:
وَلَوْ اشْتَرَى فِضَّةً بِدِينَارٍ وَنِصْفٍ، وَدَفَعَ إِلَى الْبَائِعِ دِينَارَيْنِ لِيَأْخُذَ قَدْرَ حَقِّهِ مِنْهُ، فَأَخَذَهُ وَلَوْ بَعْدَ التَّفَرُّقِ صَحَّ، وَالزَّائِدُ أَمَانَةٌ فِي يَدِهِ، وَلَوْ صَارَفَهُ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ بِنِصْفِ دِينَارٍ، فَأَعْطَاهُ دِينَارًا صَحَّ، وَيَكُونُ نِصْفُهُ لَهُ، وَالْبَاقِي أَمَانَةٌ فِي يَدِهِ وَيَتَفَرَّقَانِ، ثُمَّ إِنْ صَارَفَهُ بَعْدَ ذَلِكَ لِلْبَاقِي لَهُ مِنْهُ، أَوْ اشْتَرَى بِهِ مِنْهُ شَيْئًا، أَوْ جَعَلَهُ سَلَمًا فِي شَيْءٍ، أَوْ وَهَبَهُ إِيَّاهُ جَازَ.
“Jika seseorang membeli perak dengan satu dinar setengah, lalu ia memberikan dua dinar kepada penjual dan mengambil haknya, maka itu sah meskipun setelah berpisah. Adapun kelebihan dari jumlah yang seharusnya, maka itu menjadi titipan di tangan penjual. Jika seseorang menukar lima dirham dengan setengah dinar, lalu ia memberikan satu dinar, maka setengah dinar menjadi haknya, dan sisanya adalah titipan di tangan penjual. Kemudian jika ia menukar sisanya dengan sesuatu yang lain, menjadikannya sebagai akad salam, atau memberikannya sebagai hadiah, maka itu boleh.”
Pendapat ini menunjukkan bahwa dalam tukar-menukar mata uang, jika ada kelebihan yang tidak dikembalikan, maka itu menjadi amanah atau titipan, bukan keuntungan bagi penukar. Jika kelebihan itu diambil sebagai keuntungan, maka itu termasuk riba yang dilarang.
Fatwa Ulama dan Keputusan Lembaga Fiqih
Dalam kitab “Taudhīḥ al-Aḥkām min Bulūgh al-Marām” (IV/390), Syekh Abu Abdurrahman Al-Bassam menjelaskan:
بَعْدَ أَنْ عَلِمْنَا أَنَّ الْعِلَّةَ الرِّبَوِيَّةَ لِلنَّقْدَيْنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ هِيَ الثَّمَنِيَّةُ، فَقَدْ قَرَّرَتِ الْمَجَامِعُ الْفِقْهِيَّةُ أَنَّ الْعِلَّةَ فِي الْوَرَقِ النَّقْدِيِّ هِيَ “الثَّمَنِيَّةُ”. قَالَتْ هَيْئَةُ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ فِي الْمَمْلَكَةِ الْعَرَبِيَّةِ السَّعُودِيَّةِ فِي قَرَارِهَا رَقْم (10): إِنَّ الْوَرَقَ النَّقْدَ يُعْتَبَرُ نَقْدًا قَائِمًا بِذَاتِهِ، كَقِيَامِ النَّقْدَيْنِ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْأَثْمَانِ، وَأَنَّهُ أَجْنَاسٌ تَتَعَدَّدُ بِتَعَدُّدِ جِهَاتِ الْإِصْدَارِ، بِمَعْنَى أَنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ السُّعُودِيَّ جِنْسٌ، وَأَنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ الْأَمْرِيكِيَّ جِنْسٌ، وَهَكَذَا كُلُّ عُمْلَةٍ وَرَقِيَّةٍ جِنْسٌ مُسْتَقِلٌّ بِذَاتِهِ
“Setelah diketahui bahwa sebab terjadinya riba pada dua jenis mata uang emas dan perak adalah thamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar), maka majelis-majelis fiqih memutuskan bahwa sebab riba pada uang kertas adalah ‘thamaniyyah.’ Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi dalam Keputusannya Nomor (10) menyatakan: ‘Uang kertas dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri, sebagaimana mata uang emas dan perak serta alat tukar lainnya, dan uang kertas terdiri atas berbagai jenis yang berbeda berdasarkan pihak yang menerbitkannya. Artinya, uang kertas Saudi adalah satu jenis, uang kertas Amerika adalah satu jenis, dan setiap mata uang kertas memiliki jenis tersendiri.'”
Fatwa ini menguatkan bahwa uang kertas memiliki hukum yang sama seperti emas dan perak, sehingga aturan riba berlaku dalam transaksi yang melibatkannya.
Sebagai tambahan, beberapa sumber literasi fiqih yang lain menjelaskan:
Pertama, dalam kitab “Al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risaalati Ibni Abi Ziad al-Qairuwani” (V/403) karya Ahmad bin Ghanim Al-Nafrawi Al-Azhari Al-Maliki, diterangkan:
وَقَعَ خِلَافٌ فِي عِلَّةِ الرِّبَا فِي النُّقُودِ فَقِيلَ غَلَبَةُ الثَّمَنِيَّةِ وَقِيلَ مُطْلَقُ الثَّمَنِيَّةِ وَعَلَى الْأَوَّلِ تَخْرُجُ الفُلُوسُ الجُدُدُ فَلَا يَدْخُلُهَا الرِّبَا، وَيَدْخُلُهَا عَلَى الثَّانِي.
“Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab adanya riba pada uang. Sebagian ulama mengatakan sebabnya adalah ‘ghalabat ats-tsamaniyyah’ (dominan sebagai alat tukar), sementara pendapat lain menyebut ‘muthlaq ats-tsamaniyyah’ (fungsi umum sebagai alat tukar).
Berdasarkan pendapat pertama, uang kertas modern yang baru tidak termasuk dalam kategori riba, sementara menurut pendapat kedua, uang kertas tersebut dapat terkena riba.”
Kedua, dalam kitab “Hasyiyatul ‘Adawi ‘ala Kifaayah ath-Thalib ar-Rabbani” (V/450) karya Abul Hasan Al-‘Adawi, ulama bermadzhab Maliki, diterangkan:
وَاخْتُلِفَ فِي عِلَّةِ الرِّبَا فِي النُّقُودِ فَقِيلَ غَلَبَةُ الثَّمَنِيَّةِ وَقِيلَ مُطْلَقُ الثَّمَنِيَّةِ وَعَلَى الْأَوَّلِ تَخْرُجُ الفُلُوسُ الجُدُدُ فَلَا يَدْخُلُهَا الرِّبَا، وَيَدْخُلُهَا عَلَى الثَّانِي، وَإِنَّمَا كَانَتْ عِلَّةُ الرِّبَا فِي النُّقُودِ مَا ذُكِرَ لِأَنَّا لَوْ لَمْ نَمْنَعِ الرِّبَا فِيهَا لَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى قِلَّتِهَا فَيَتَضَرَّرُ بِهَا النَّاسُ كَمَا قَالَهُ اللَّقَّانِي، وَحَمَلَ قَوْلَ مَالِكٍ فِي الفُلُوسِ عَلَى الكَرَاهَةِ لِلتَّوَسُّطِ بَيْنَ الدَّلِيلَيْنِ كَمَا قَالَهُ خَلِيلٌ فِي تَوْضِيحِهِ.
“Perbedaan pendapat terjadi mengenai sebab adanya riba pada uang. Sebagian ulama menyebut sebabnya adalah ‘ghalabat ats-tsamaniyyah’, sementara pendapat lain menyebut ‘muthlaq ats-tsamaniyyah’. Berdasarkan pendapat pertama, uang kertas modern yang baru tidak terkena riba, sementara pendapat kedua menyebut bahwa riba tetap berlaku. Sebab utama larangan riba pada uang adalah agar uang tersebut tidak menjadi langka sehingga masyarakat tidak terdampak buruk akibat kelangkaan itu, sebagaimana dijelaskan oleh al-Laqani. Pendapat Imam Malik mengenai uang kertas diterjemahkan sebagai makruh untuk menengahi dua dalil, sebagaimana dirinci oleh Khalil dalam kitab Tawdih.”
Jadi, dalam pembahasan kitab-kitab fiqih, terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab (ʿillah) riba pada uang. Beberapa ulama berpendapat bahwa riba berlaku karena uang memiliki sifat dominan sebagai alat tukar utama (ghalabat ats-tsamaniyyah), sementara yang lain menganggap sifat alat tukar secara umum (muthlaq ats-tsamaniyyah).
Berdasarkan pandangan pertama, uang kertas modern tertentu tidak terkena riba, sedangkan menurut pandangan kedua, riba tetap berlaku. Larangan riba pada uang bertujuan menjaga kestabilan nilai uang agar tidak mengakibatkan kerugian masyarakat. Pendapat Imam Malik menyebut praktik tertentu sebagai makruh untuk menengahi dalil-dalil yang ada.
Cara Agar Tidak Riba
Agar tidak terjerumus dalam riba, ada beberapa cara yang bisa dilakukan:
Pertama, menukar uang dengan nominal yang sama tanpa adanya selisih atau tambahan biaya.
Kedua, jika ada biaya jasa, maka harus dibuat sebagai ujrah (upah), yaitu pemberian sukarela setelah akad selesai dan tanpa kesepakatan di awal. Ketiga, jika ingin mengambil keuntungan, sebaiknya tidak dengan menukar uang, tetapi dengan cara lain, misalnya menjual barang atau jasa lain yang sah.
Sehingga, jika seseorang menukar uang Rp100.000 menjadi pecahan kecil Rp10.000 sebanyak 10 lembar tanpa potongan, maka itu sah. Namun, jika penyedia jasa meminta tambahan Rp10.000 sebagai biaya admin dan akhirnya uang yang diterima hanya Rp90.000, maka ini termasuk riba dan haram.
Jika ingin tetap memberikan biaya jasa, maka harus dilakukan setelah transaksi selesai dan atas dasar keikhlasan, bukan sebagai syarat dari transaksi.
Kesimpulan:
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa poin yang bisa disimpulkan:
Pertama, menukar uang dengan nominal yang sama secara tunai adalah halal. Kedua, menukar uang dengan ada selisih nilai karena biaya admin termasuk riba dan haram. Ketiga, jika ingin memberikan biaya jasa, maka harus berupa ujrah atau sedekah yang diberikan setelah transaksi dan tanpa kesepakatan di awal.
Keempat, hukum ini berdasarkan hadits sahih, pendapat ulama dalam kitab al-Iqnā’, dan fatwa Majma’ al-Fiqhi dan beberapa kitab lainnya sebagaimana yang disebutan di atas. Maka, sebaiknya masyarakat berhati-hati dalam menukar uang saat Lebaran agar tidak terjerumus ke dalam praktik riba yang dilarang oleh syariat Islam. Wallahu A’lam bi ash-Shawāb.*
KH Bachtiar Nasir