Oleh:
Ari Yuliana, S.Pd*
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Surat An Nisa:9)
Apa yang muncul di benak kita ketika membaca ayat di atas di bagian kalimat “…meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka…”?
Mungkin ada yang berpikir keturunan yang lemah ini adalah lemah dari segi fisik. Tapi tahukah kita bahwa ayat tersebut bukan hanya membicarakan tentang fisik yang dimiliki oleh keturunan kita, tapi lebih luas dari itu.
Menurut tafsir Al-Muyassar/Kementerian Agama Saudi Arabia, surat An Nisa ayat 9 menjelaskan bahwa hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggal dan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang masih kecil-kecil atau lemah, yang mereka takutkan mengalami kezhaliman atau tak terurus. Maka hendaknya mereka selalu merasa diawasi oleh Allah dalam memperlakukan orang yang berada di bawah tanggungannya dari anak-anak yatim dan anak-anak lainnya. Yaitu dengan cara menjaga harta benda mereka, mendidik mereka dengan baik, dan menyingkirkan segala gangguan dari mereka dan hendaklah berkata kepada mereka dengan ucapan yang sejalan dengan semangat keadilan dan yang baik-baik.
Dari tafsir diatas, bisa kita simpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu kita lakukan agar keturunan kita tidak lemah, diantaranya:
- Menjaga harta benda,
- Mendidik dengan baik,
- Menyingkirkan segala gangguan, dan
- Berkata dengan ucapan yang baik-baik.
Mari kita fokus ke poin dua yaitu mendidik dengan baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mendidik mempunyai arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sementara menurut Prof Dr. Naquib Alatas, mendidik adalah membentuk manusia untuk menempati tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku secara proposional sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasai. Maka dapat disimpulkan bahwa mendidik merupakan kegiatan memberikan pengajaran baik secara intelektual (pikiran) maupun emosional (akhlak).
Tidaklah mudah mendidik generasi jaman sekarang. Perkembangan informasi dan teknologi yang sangat pesat membuat mereka bisa dengan sangat mudah mencari informasi yang mereka butuhkan. Tidak jarang bahkan mereka lebih mengetahui sesuatu dibandingkan dengan orang dewasa. Hal inilah yang terkadang membuat anak-anak bisa menjadi sangat aktif ataupun malah sebaliknya, asyik dengan dunianya sendiri.
Mendidik dengan baik bukan berarti hanya sekadar memberikan pendidikan di sekolah yang mahal, mampu berbahasa asing, juara olimpiade, ataupun yang lainnya. Semua hal itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan pendidikan karakter yang didasari dengan pengetahuan agama.
Mengutip perkataan KH Bachtiar Nasir, salah satu ulama kontemporer Indonesia dan juga pimpinan sekolah boarding AQL Islamic School, bahwa ‘belajar ilmu sains yang tidak dibersamai dengan iman kepada Allah maka bisa menjerumuskan dalam kesyirikan’. Orang yang terlalu mengagungkan ilmu sains tanpa didasari iman, maka secara tidak sadar akan menganggap bahwa semua ilmu di dunia ini berjalan apa adanya tanpa ada sunnatullah Allah yang berjalan disana. Oleh karena itu, tidak cukup jika kita memasukkan anak-anak kita ke sekolah yang bagus secara intelektual, tapi minus dalam pendidikan agama dan karakter.
Sebuah sekolah yang baik adalah sekolah yang mengajarkan anak menjadi cerdas secara intelektual dan juga mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang beradab dan berakhlak mulia. Pembentukan manusia beradab dan berakhlak mulia tidaklah semudah ketika mengajarkan rumus matematika, fisika, ataupun pelajaran lainnya. Butuh proses yang terus menerus dilakukan, dipantau, dievaluasi, dan dijaga agar akhirnya mendapatkan hasil yang diharapkan.
Peran seorang guru sangat penting dalam keberhasilan seorang siswa, selain orangtua kandungnya. Jika seorang guru mampu menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi siswanya, maka hal itu akan menjadi kekuatan siswa dalam mengejar cita-cita di masa depan[1]. Guru adalah sosok yang “digugu” (diperhatikan) dan ditiru. Maka tidak jarang kita mendengar ujaran para orangtua bahwa sang anak lebih menurut pada perkataan guru dibanding orangtua nya.
Tantangan menjadi seorang guru juga tidak mudah. Para siswa yang datang dari berbagai latar belakang daerah dan budaya, membuat guru harus bekerja ekstra untuk bisa melahirkan generasi muslim yang adil, beradab, dan amanah. Ketika pendidikan karakter seorang siswa sudah “selesai” dari lingkungan rumahnya, maka akan sangat mudah bagi seorang guru untuk mengasahnya dan menjadikan dia seorang yang sukses dalam pembelajarannya. Sebaliknya, jika seorang siswa tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang tidak kondusif, maka akan sangat menguras energi dan dibutuhkan amunisi kesabaran yang ekstra untuk mendidik siswa tersebut.
Pernah suatu saat seorang wali kelas memanggil salah seorang siswa untuk di-coaching terkait kesalahan yang pernah dilakukan. Ketika sedang berlangsung coaching, siswa ini marah dan bahkan sampai membentak guru yang bersangkutan. Dengan mata yang merah, sang anak meluapkan kekesalan dan kemarahannya kepada guru tersebut. Pada saat itu, sang anak lupa bahwa sang guru adalah orangtua pengganti mereka di sekolah, sehingga dengan mudahnya mereka marah tanpa sungkan dan rasa bersalah. Sang guru pun hanya mendengarkan luapan emosi anak tersebut tanpa menyela.
Bagaimana perasaan guru itu? Tentu saja awalnya kaget dan syok dengan reaksi si anak. Tapi sebagai seorang pendidik, dia berusaha mengendalikan emosinya dan mendengarkan semua ungkapan kekesalan sang anak. Ketika sudah selesai, barulah guru tersebut menanggapi dengan bahasa yang santun dan tentu saja menyadarkan bahwa apa yang dilakukan sang anak adalah kurang tepat, baik dari segi sosial maupun agama.
Kisah nyata diatas merupakan salah satu contoh betapa pentingnya pendidikan agama dan karakter untuk generasi sekarang. Karakter yang tidak menghargai guru dan bahkan berani membentak adalah salah satu bukti bahwa masih ada kekurangan dalam sistem pendidikan yang didapatkan oleh sang anak. Bukan semata-mata menyalahkan sang anak, karena karakter dia pun dibentuk dari berbagai faktor. Faktor keluarga, lingkungan, teman, dan faktor-faktor lain yang sangat mungkin mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan karakternya.
Ada tantangan yang berbeda bagi guru yang mendidik siswa di sekolah boarding (berasrama) dan sekolah non boarding. Sekolah boarding mempunyai tantangan yang kompleks dibandingkan dengan sekolah non boarding. Guru di sekolah non boarding hanya berkesempatan mendampingi siswanya kurang lebih 8 jam. Setelah itu mereka pulang dan tidak memikirkan lagi permasalahan siswanya karena mereka sudah pulang ke rumah orangtuanya masing-masing.
Sementara guru di sekolah boarding harus mendidik selama kurang lebih 24 jam. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Karena mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, para guru harus mendampingi dan berinteraksi dengan siswanya. Posisi guru di sekolah boarding hampir mirip atau bahkan bisa dibilang sebagai orangtua ideologis anak selain orangtua biologisnya di rumah.
Bisa kita bayangkan, para guru di sekolah boarding harus memikirkan semua kebutuhan siswanya selama dia masih bersekolah. Selain tentu memberikan pelayanan berupa pembelajaran di kelas dengan kurikulum sekolah, guru juga harus memikirkan kebutuhan dasar siswa yang lain, mulai dari makanan, minuman, tempat tidur, termasuk kesehatan.
Semua aktivitas siswa selama sehari harus selalu terkontrol demi mendidik dan membentuk karakter mereka. Selain itu, orangtua juga mempunyai harapan yang besar bahwa dengan menyekolahkan anaknya di sekolah boarding, maka ketika lulus maka secara otomatis anak mereka akan menjadi anak yang sholeh, cerdas, dan menjadi kebanggaan mereka. Hal ini lah yang menuntut seorang guru harus mempunyai kualitas diri, keterampilan, dan integritas moral yang baik. Kenapa? Tentu saja karena dia harus bisa menjadi teladan bagi para siswanya.
Guru-guru AQL Islamic School memperlihatkan contoh konkret bagaimana perjuangan mendidik generasi muda agar unggul dalam segi akademik maupun karakter. AQL Islamic School (AQLIS) adalah sekolah boarding yang mengajarkan kurikulum TSoL (The Secret of Luqman), kurikulum pembelajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan menanamkan nilai karakter Luqman pada diri siswa. Para guru AQLIS tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan seperti matematika, bahasa, fisika, kimia, ataupun yang lainnya. Setiap materi yang disampaikan ke siswa tidak lepas dari ayat Al-Quran yang menjadi pijakannya. Hal ini tentunya sejalan dengan pemikiran pimpinan AQLIS, Kyai Bachtiar Nasir, bahwa semua ilmu yang diajarkan harus bertujuan untuk mendekatkan diri dan menambah keimanan kepada Allah SWT.
Para guru AQLIS juga membentuk karakter siswa dengan pembelajaran adab-adab sesuai dengan syariat islam. Seperti adab tidur, adab makan, adab berbicara, adab bergaul, dan adab yang lainnya. Siswa yang datang berasal dari berbagai latar belakang dan kondisi, dari siswa yang sudah mandiri mampu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri sampai siswa sama sekali tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, ngepel, dan lainnya.
Sehingga di AQLIS lah mereka belajar bagaimana rasanya menyapu, mengepel, mencuci baju dan piring sendiri, sabar antri ketika makan atau mandi, dan menjalankan ibadah wajib dan sunnah dengan bimbingan guru tentunya. Meskipun banyak hal yang terjadi dalam proses pembentukan karakter siswa di AQL Islamic School, seperti dicemooh, dibenci, atau dibicarakan oleh siswa dengan kata yang tidak pantas, tapi para guru tidak menyerah untuk selalu memberikan pelayanan terbaik dan mencoba memberikan keteladanan dalam setiap perilaku. Tak lupa doa yang selalu disematkan untuk para siswanya agar kelak menjadi orang yang sukses di dunia dan juga di akhirat.
Berikut ini adalah beberapa tips bagi para guru yang mungkin bisa dicoba diterapkan ketika mendidik para siswanya[2].
Pertama, jadilah pendengar yang baik.
Pendengar yang baik adalah mendengar dengan penuh perhatian. Dengan menjadi pendengar yang baik, maka akan tercipta hubugan komunikasi yang baik antara siswa dan guru. Sang anak akan semakin merasa nyaman dalam menyampaikan keinginan dirinya dan para guru pun akan semakin mudah memberikan nasihat-nasihat yang positif kepada siswa tersebut.
Kedua, kendalikan amarah.
Rasulullah bersabda: Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah (HR. Ahmad). Selain karena anjuran dari Rasulullah SAW, mengendalikan amarah dengan menumpahkan dengan cara yang positif harus dimiliki oleh semua pendidik. Hal ini dimaksudkan agar kita tetap mampu mendidik anak dan memberikan arahan yang terbaik, bukan merusak karena nafsu amarah yang tidak tertahankan.
Ketiga, hargai perilaku yang baik.
Strategi ini mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam membentuk karakter anak. Menghargai perilaku baik siswa tidak harus memberikan hadiah berupa materiil, tapi bisa juga dengan memberikan pujian dan memperlihatkan perasaan yang spesial dalam koridor yang diperbolehkan syariat islam.
Keempat, jangan berlebihan memberikan sanksi.
Ketika seorang siswa melakukan kesalahan, maka perlu ada penanganan agar bisa menyadarkan dia tentang kesalahan yang diperbuat. Sebagai guru boleh memberikan sanksi sesuai kesalahan yang diperbuat yang bersifat kontruktif bukan untuk untuk menyakiti atau merusak.
Kelima, berilah contoh, jangan hanya perintah.
Ketika kita menginginkan sang anak menjadi pribadi yang sholeh dan melakukan semua perbuatan baik, maka tidak cukup hanya kita “tuturi” (perintah), tapi tentu harus kita berikan contoh dan mengajak mereka melakukan hal yang sama. Dengan keteladanan, maka siswa akan lebih mudah meniru hingga akhirnya menjadi habit (kebiasaan).
Keenam, berikan motivasi dan kokohkan rasa percaya diri.
Sebagian siswa dalam masa belajar menghadapi masalah kurangnya rasa percaya diri. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, sewajarnya harus selalu mendukung dan memberikan motivasi yang positif agar rasa percaya diri mereka bisa tumbuh kokoh sehingga mereka menjadi pribadi yang berani tampil, cerdas, kreatif, dan inovatif.
Tidak mudah memang menjadi seorang guru, selain karena besarnya amanah mendidik seorang manusia, juga karena sekarang kita dihadapkan dengan situasi yang mana guru bukan hanya satu-satunya sumber ilmu. Para siswa bisa dengan mudah mempelajari semua hal dari mesin pencari di internet. Tapi percayalah, sebuah adab dan perilaku tidak akan pernah didapatkan seorang siswa tanpa adanya seorang guru. Tidak perlu disebut namanya. Tidak perlu diberikan hadiah yang mewah. Tidak perlu diagung-agungkan. Karena kebahagian bagi seorang guru adalah ketika dia mendengar semua siswanya telah sukses di masa mendatang. Sukses secara intelektual, pun tak kalah penting sukses dalam karakter dan akhlak yang baik. Cukup sederhana bukan?! The Untold Hero. Wallahu’alam bis shawab.*
[1] Dikutip dari Buku Great Teacher!: Kiat Sukses Menjadi Guru Inspiratif, Inovatif, dan Motivatif, karya: Jamal Ma’mur Asmani
[2] Dikutip dari Buku Smart Parenting: 30 Strategi Mendidik Anak, karya: Dr. Musthafa Abu Sa’ad.
*Penulis ada juara ketiga pada Lomba Menulis Artikel Ilmiah Populer yang diselenggarakan AQL Islamic School dalam rangka Hari Guru Nasional ke-28 tahun 2022.