Zakat Fitrah Hanya untuk Fakir dan Miskin?

Jangan beri yang sisa untuk islam

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, apakah benar bahwa zakat fitrah itu hanya dikhususkan untuk para fakir dan miskin dan tidak boleh dibayarkan kepada asnaf zakat yang lain sebagaimana dalam zakat harta? Dan apakah benar puasa kita akan tergantung antara langit dan bumi sampai kita membayarkan zakat fitrah kita? Mohon penjelasannya ustadz.

Hamba Allah.

Jawab:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Zakat al-fithri  yang biasa kita sebut dengan zakat fitrah ini merupakan kewajiban bagi setiap individu umat Islam. Baik yang dewasa maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun budak dengan syarat dia memilki harta yang lebih dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya pada hari raya. Para ulama sepakat bahwa zakat fithri itu wajib karena telah berbuka atau selesai dari puasa Ramadhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ , وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ , وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ , وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, “Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Para ulama berbeda pendapat tentang masraf atau pihak yang berhak menerima zakat fithri ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fithri ini boleh dibagikan kepada semua asnaf zakat yang disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60, yaitu:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَ‌اءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّ‌قَابِ وَالْغَارِ‌مِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّـهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِ‌يضَةً مِّنَ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Surat At-Taubah [9]: 60).

Hal itu karena zakat fithri adalah zakat, maka pihak yang berhak menerimanya juga sama dengan pihak yang berhak menerima zakat harta.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wajib hukumnya mendistribusikan zakat fithri kepada asnaf zakat sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60 tersebut, jika mereka semua ada, atau jika tidak ada maka harus diberikan kepada yang ada saja. Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’ bahwa pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fithri itu wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.

Sedangkan ulama mazhab Maliki dan salah satu riwayat dalam mazhab Hanbali berpendapat bahwa zakat fithri itu hanya untuk fakir dan miskin. Pendapat ini yang juga dipegang oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim. Hal itu berdasarkan hadits Nabi SAW. yang menjelaskan bahwa zakat fithri itu diwajibkan untuk memberi makan orang-orang miskin.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. رواه أبو داود وابن ماجة والحاكم والبيهقى

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih diri orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin, Barangsiapa membayarkannya sebelum shalat ‘Iedul Fithri maka ia adalah zakat yang diterima oleh Allah, dan barangsiapa yang membayarkannya setelah shalat ‘Iedul Fithri maka ia adalah shadaqah biasa.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan al-Baihaqi).

Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda:

اغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupkanlah orang-orang miskin, jangan sampai mereka minta-minta pada hari ini.” (Riwayat Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni).

Pendapat inilah yang kuat berdasarkan hadits-hadits di atas dan amalan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam masalah zakat fithri ini. Juga karena zakat fithri itu memang bertujuan untuk menghindarkan orang miskin dari meminta-minta pada hari raya itu yang seharusnya ia ikut merayakan hari kemenangan itu. Ibnu Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad menjelaskan bahwa di antara petunjuk Nabi SAW adalah mengkhususkan zakat ini untuk orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada delapan asnaf secara menyeluruh. Beliau tidak memerintahkan hal itu dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya begitu juga generasi setelah mereka (para tabi’in).

Adapun mengenai ibadah puasa yang tergantung antara langit dan bumi sampai orang yang berpuasa itu membayarkan zakat fithrinya, memang ada riwayat hadits yang berbunyi:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا يَزَالُ صِيَامُ الْعَبْدِ مُعَلَّقًا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى يُؤَدِّيَ زَكَاةَ فِطْرِهِ

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Puasa seorang hamba akan terus tergantung di antara langit dan bumi sampai dia menunaikan zakat fithrinya.

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “ Sesungguhnya (Pahala) bulan Ramadhan itu menggantung di antara langit dan bumi. Tidak akan diangkat kecuali dengan ditunaikannya zakat fithrinya.

Kedua hadits ini disebutkan oleh Abu al-faraj Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-‘Ilal al-mutanahiyyah, kemudian dia menjelaskan kedua hadits ini tidak shahih. Hadits pertama karena dalam sanadnya ada Abdurrahman bin ‘Utsman, Imam Ahmad berkata tentang: “Orang-orang membuang haditsnya”. Ibnu Hibban menegaskan tidak boleh berhujjah dengan haditsnya. Sedangkan hadits kedua karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ubaid dan dia seorang yang majhul (tidak diketahui keadaannya).

Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Jami’ al-Shaghir juga menyebutkan hadits yang kedua, dan menjelaskan bahwa hadits ini adalah dhaif.

Syaikh Albani setelah mendhaifkan ini menjelaskan kalau hadits ini shahih, secara zhahir hadits ini berarti bahwa diterima atau tidaknya puasa seseorang itu tergantung kepada zakat fithrinya, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya maka puasanya tidak akan diterima. Dan saya tidak mengetahui seorangpun ulama yang mengatakan pendapat seperti ini.

Maka hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum dalam masalah ini. Sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu hadits di atas bahwa zakat fithri itu adalah sebagai pembersih diri dan menutupi kekurangan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor yang ia lakukan selama berpuasa.

Wallahu a’lam bish shawab.*

KH Bachtiar Nasir

Facebook
WhatsApp
Threads
X
Telegram
Print
Picture of KH Bachtiar Nasir

KH Bachtiar Nasir

Ulama, Pemikir, dan Penggerak Dakwah Islam

Artikel Terbaru